"Saat ini nilainya lebih rendah 20 kali lipat," kata Syahbana seperti yang dilansir dari Antara, Minggu 3 Desember 2017.
Menurut Devy, ada dua kemungkinan penyebab berkurangnya gas SO2. Pertama, dikarenakan laju magma yang naik ke permukaan gunung melemah lantaran energi akibat gas magmatik semakin berkurang. Kemungkinan kedua, terjadinya penyumbatan pada pipa magma sehingga fluida magma yang bergerak ke permukaan terhalang oleh lava. Ditambah permukaan mendingin dan mengeras.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Apabila kemungkinan pertama yang terjadi maka, menurut dia, potensi erupsi akan berkurang karena magma kehilangan mobilitasnya.
"Bahkan erupsi-erupsi selanjutnya bisa jadi tidak teramati lagi dalam waktu dekat sampai magma baru suatu saat nanti lahir lagi," ucap Syahbana.
Namun jika kemungkinan kedua yang terjadi maka potensi erupsi akan meningkat karena akumulasi tekanan magma bertambah. Sehingga pada waktu tertentu, ketika lava yang menutupi keluarnya magma kekuatannya lebih rendah dari tekanan yang diakumulasi di bawahnya, maka diprediksi erupsi dapat terjadi.
"Jika kemungkinan kedua, yakni terjadinya penyumbatan maka ada dua hal dapat terjadi yang berkaitan dengan masa tenang lama dan pendek," ujar dia.
Dia menyampaikan, bila masa tenangnya lama, kemungkinan akumulasi tekanannya semakin besar, maka erupsi terjadi lebih eksplosif dari erupsi sebelumnya.
Pada erupsi tahun 1963 lalu terdapat fase istirahat sekitar dua minggu sebelum terjadinya erupsi utama yang mencapai ketinggian sekitar 23 kilometer.
Namun jika masa tenangnya pendek, maka kemungkinan akumulasi tekanannya tidak besar. Adanya pendekatan kemungkinan itu, kata dia, karena para ahli vulkanologi belum bisa menggunakan metode pendekatan yang pasti mengingat kompleksitas yang dimiliki gunung berapi.
"Artinya meski saya menjelaskan beberapa kemungkinan, bisa jadi Gunung Agung memiliki rencana sendiri yang tidak masuk pada kemungkinan tersebut," tutur Syahbana.
Semburan Sulfur Dioksida (SO2) dari Gunung Agung terdeteksi oleh Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) yang disebutkan pada laman earthobservatory.nasa.gov.
Pada laman itu disebutkan SO2 terdeteksi oleh Ozone Mapper Profile Suite pada Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership atau satelit Suomi NPP yang mencapai puncak pada 27 November 2017 dan mulai berangsur menurun pada 28 November 2017.
Ahli Vulkanologi dari Universitas Teknologi Michigan Amerika Serikat Simon Carn menyebutkan menurunnya pergerakan SO2 Gunung Agung disebabkan karena adanya tarikan siklon tropis Cempaka yang membawa gas tersebut menjauh ke arah barat.
Simon mengungkapkan satelit Suomi NPP juga mencatat SO2 yang dihasilkan total mencapai sekitar 40 ribu ton selama 26-29 November 2017 seperti yang disebutkan dalam artikel terkait kemungkinan Gunung Agung mempengaruhi iklim global oleh meteorologis Bob Henson dari weather underground.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SCI)