Dede, 27, sopir angkutan umum trayek Ciumbuleuit-Stasiun Bandung berharap transportasi online disetarakan seperti angkutan umum biasa. Namun, dia yakin hal itu sulit terlaksana.
"Supaya bisa dicabut izin trayeknya. Tapi, kita sadar ini sulit. Minimal disetarakanlah seperti kami, berpelat kuning," ucap Dede saat ditemui Metrotvnews.com di Terminal Stasiun Bandung, Kamis 12 Oktober 2017.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Dede juga mengeluhkan pendapatannya berkurang sejak kemunculan transportasi online. Selain itu, akan tidak adil bila angkutan konvensional harus memenuhi berbagai macam persyaratan dan perizinan.
"Setoran saja nombok. Mereka (transportasi online) kan tidak ada setoran dan bergerak bebas," ucapnya.
(Baca: Pemprov Jabar tak Membekukan Transportasi Online)
Hal senada diungkapkan Saepul, 43, sopir angkot trayek Gunung Batu-Stasiun Bandung. Wajar ongkos transportasi online terbilang murah, sehingga cukup menarik perhatian masyarakat karena tak ada sistem setoran.
"Mereka kan enggak setoran. Sedangkan, kita (angkot) setoran. Setoran saya Rp130 ribu per hari. Kadang-kadang saya dapat Rp80 ribu, jelas saya nombok," paparnya.
(Baca: Transportasi Online Jabar tak Beroperasi Demi Menghindari Konflik)
Dia pun mengaku tak bisa beralih profesi karena terbentur umur. Mau tak mau, Saepul tetap bertahan. Apalagi jika mengingat perjuangannya selama ini sebagai sopir angkutan umum.
Sementara itu, Ketua DPC Federasi Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (FSPTI) Bandung Ana Sumarna mengatakan, mereka bakal habis-habisan membela nasib sopir transportasi konvensional. Ada 38 trayek angkutan umum dengan ribuan sopir di Kota Bandung. Belum lagi bila digabung dengan trasportasi konvensional lainnya seperti taksi.
"Jumlah sopir angkutan umum kurang lebih 12 ribu orang di Kota Bandung," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SUR)
