Kekecewaan warga ditumpahkan dengan memblokir lokasi proyek. Warga juga membakar ban di jalan akses menuju proyek pembangunan Tol Cisumdawu, Senin 11 April 2016.
"Kami menuntut dilakukan pengukuran ulang dengan melibatkan masyarakat. Harga tanah yang akan dibeli oleh juga harus dimusyawarahkan dengan warga," ujar Yayat, 59, salah seorang warga pemilik lahan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Yayat menyebut, selama ini warga tidak pernah diberi kesempatan untuk mengajukan negosiasi. Warga telah diwakili Tim 7, yang merupakan tim bentukan Kepala Desa Ciherang pada 2010.
"Warga tidak berharap adanya Tim 7 tersebut, karena Tim 7 telah memperjualbelikan tanah warga tanpa dibarengi kesepakatan dengan warga pemilik tanah," katanya.
Diketahui, ada sekitar 77 hektar tanah di wilayah Desa Ciherang Kecamatan Sumedang Selatan. Saat ini belum ada penyelesesaian dengan alasan belum ada kesepakatan.
Yayat menyebut pemilik lahan diintimidasi dan ditakut-takuti oleh Tim 7. Bahkan dipaksa untuk menerima keputusan hasil negosiasi antara panitia pengadaan tanah (P2T) dengan Tim 7 tersebut.
Kemudian Yayat menyebut bahwa pada 2010 terjadi tujuh kali negosiasi harga tanah antara Tim 7 dengan P2T. Negosiasi pertama, warga meminta Tim 7 mengajukan harga tanah Rp5,6 juta per bata (14 meter). Namun, oleh P2T hanya ditawar Rp500 ribu per bata.
Belakangan, pada negosiasi terakhir, Tim 7 dan P2T justru sepakat pada harga Rp1 juta untuk 14 meter persegi tanah. Warga tak setuju dengan besaran harga tersebut.
"Tidak ada lagi kenaikan harga tanah sejak itu. Warga ingin batasan yang hilang dihitung lagi, harga tanah juga minimal Rp5,6 juta per bata bukan Rp1 juta. Kami ingin ada perjanjian hitam di atas putih," katanya.
Warga, kata Yayat, mengancam bakal terus menutup akses jalan menuju proyek tol bila tuntutan tak dipenuhi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)