Sebanyak 35 orang (data hingga 27 September, seminggu setelah kejadian) tewas, 19 orang belum ditemukan, dan 35 terluka. Lebih dari 2.500 warga mengungsi. Banjir menyapu 2.511 rumah dengan jumlah rumah rusak parah sebanyak 858 rumah.
Hingga September 2016, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 574 kejadian banjir di Indonesia. Jumlah itu terbesar dibandingkan dengan jenis bencana lain, seperti puting beliung (446 kejadian), tanah longsor (382), kebakaran hutan dan lahan (168), banjir disertai tanah longsor (46), gelombang pasang (19), gempa bumi (10), dan letusan gunung api (7).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Banjir merupakan salah satu tragedi paling menonjol tahun ini. Bagi warga Garut, banjir itu mencetak sejarah sebagai yang terparah.

Sisa puing bangunan milik warga korban pascabanjir bandang luapan air Sungai Cimanuk di Kampung Rengganis, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Jumat (18/11). Foto: Antara/Adeng Bustomi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat debit air mencapai 905 meter kubik per detik. Normalnya, aliran Sungai Cimanuk 605 meter kubik per detik. Debit air semakin besar karena tak lama sebelum kejadian, curah hujan di Gunung Papandayan 255 milimeter per hari. Padahal, biasanya hanya 50 milimeter per hari. Paling besar pun hanya 100 milimeter per hari.
Bak tsunami kecil, air bah kemudian melumat apa saja yang dilewati. Pengakuan Wawan, salah satu korban, dalam hitungan dua menit air sudah setinggi satu meter. Tak sampai lima menit, air sudah menyulap atap rumah jadi tak terlihat.
Jajang, korban lainnya, mengaku trauma tinggal di pinggir sungai. "Tak mau lagi tinggal di sana. Saya maunya direlokasi ke tempat yang lebih aman," ujar Jajang yang bisa lolos dari kepungan air bah setelah meniti atap dan lompat ke tempat yang lebih tinggi.
Biang Banjir
Beda posisi, beda pula sudut pandang melihat apa yang menjadi penyebab banjir. Mari kita runut.
Bupati Garut Rudy Gunawan menuding perilaku warga paling bertanggung jawab melahirkan banjir bandang. "Ini akibat banyaknya praktik illegal logging (penebangan pohon) di hulu sungai," kata dia.
Dia menunjukkan fakta jika hulu Sungai Cimanuk sudah langka hutan. Yang mendominasi justru deretan warna hijau muda yang menandakan kawasan itu didominasi kebun tanaman holtikultura. Kebun itu terhampar di kemiringan 45 derajat di kawasan hulu Sungai Cimanuk.

Grafis: BNPB
Untuk soal ini, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Banten punya data menarik: ladang-ladang sayur menyumbang abrasi sedimentasi 434 ton per hektare.
Baca: Hulu Sungai Cimanuk Beralih Fungsi, Camat di Garut Diperiksa Polda
Deputi Penanggulangan Darurat Bencana BNPB, Tri Budiarto, melihat banjir bandang tercipta karena pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang buruk. Ia meminta pemerintah daerah memperhatikan persoalan DAS di masa mendatang.
"Berdasarkan teori ekologi, penyebab banjir di Garut ini karena antara kapasitas sungai dengan air yang masuk, tak seimbang," kata dia.

Fotografer asal Jakarta, Agung Mandela, berpose di samping karya fotonya yang berjudul Banjir di Garut di Galeri Cita 2, TIM, Jakarta, Senin (19/12/2016). Foto: Antara/Dodo Karundeng
Tri menegaskan kawasan hulu Sungai Cimanuk mutlak harus lebat. Pemerintah harus berupaya sedemikian rupa untuk segera menghijaukan kembali kawasan hulu.
Baca: Banjir Bandang Garut Potret Buruknya DAS Cimanuk
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sudah mewanti-wanti bakal terjadi bencana banjir di sekitar DAS Cimanuk sejak 20 tahun lalu. "Sejak 2002 kami sudah menemukan fakta ada perubahan tata guna lahan. Ini sangat kentara dari citra landsat (gambaran permukaan bumi yang diambil dari luar angkasa)," ujar Ketua Walhi Jabar Dadan Ramdan.
Pantauan di lapangan, Walhi menemukan adanya perubahan tata guna lahan yang luar biasa. Menurutnya, pemerintah telah melanggar rencana tata ruang wilayahnya sendiri dengan tak mempertahankan kawasan hutan lindung minimal 83 persen.
"Kita melihat, kebijakan bupati tak mendukung ke arah itu."
Sejak 14 tahun lalu Dadan mengaku sudah berteriak-teriak mengenai persoalan ini. Tetap tak digubris. Kawasan pariwisata justru makin menjamur. Bangunan-bangunan di pinggir sungai terus tumbuh.
Walhi mendata, luasan hutan di wilayah Bayongbong, Cikajang, Pasirwangi, Gunung Cikurai, Guntur, dan Darajat, berkurang drastis.
Amuk di DAS Cimanuk
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luas hulu di DAS Cimanuk 60 ribu hektare. DAS ini dikelilingi Gunung Papandayan, Cikuray, dan Guntur. Semua air bermuara ke Sungai Cimanuk.
Dari luasan itu, sedimentasi cukup tinggi karena tutupan lahan kurang dan berada di kemiringan hingga 45 persen. Tingginya sedimentasi disumbang luasnya kebun holtikultura di hulu sub-DAS Cimanuk yang mencapai 28.777 hektare atau hampir setengah luas hulu sungai.
Baca: Atasi Banjir, Pemerintah Rehabilitasi Sub DAS di Jabar
Dari data itu, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Anang Sudarna, menyatakan hulu Sungai Cimanuk rusak berat.

Grafis: BNPB
Fakta lain, dilihat dari geomorfologi dan topografi, jarak antara daerah lereng dan lembah sangat dekat. Saat terjadi hujan deras, air seperti disekap dan meluncur sangat cepat.
Sampai akhirnya momentum itu terjadi. Hujan deras mengguyur hulu Sungai Cimanuk, tepatnya di sekitar Gunung Papandayan, Selasa malam 20 September. Curah hujan mencapai 255 milimeter. Dua setengah kali lipat lipat curah hujan normal.
Debit air sungai kemudian naik mencapai 905 meter kubik per detik. Jauh melampaui debit normal 605 meter kubik per detik. Dalam hitungan jam, air meluncur bak peluru ke hilir. Di pagi buta, air menemukan muaranya. Ratusan rumah luluh lantak. Puluhan orang tewas.
Garut berduka. Duka ini kembali mengabarkan berita penting: manusia harus bersahabat dengan alam sebagai tempat hidup, bukan mengekspolitasinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)