Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menilai, situasi kependudukan di wilayah setempat semakin heterogen. Masyarakat pun diimbau untuk mengedepankan sikap toleransi.
"Komposisi warga semakin beragam, ditambah dengan perbedaan dalam hal kepercayaan, sikap-sikap intoleran sudah sewajarnya dikesampingkan. Sikap toleran atas berbagai perbedaan itu yang semestinya dikedepankan," kata Rahmat Effendi di Bekasi, Rabu 9 Maret.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Dia mengatakan, Kota Bekasi saat ini dihuni sekitar 2,4 juta jiwa yang berlatar belakang multietnis. Namun, warga asal Jawa saat ini mendominasi dengan total 33 persen.
Suku Betawi yang merupakan warga asli Kota Bekasi saat ini tinggal tersisa 28 persen dan kemudian disusul suku Sunda sebanyak 18 persen. Situasi itu terjadi akibat letak kawasan yang bersebelahan dengan ibukota Jakarta sehingga arus urbanisasi di lokasi itu cukup besar.
Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu mengatakan, warga Kota Bekasi sudah seharusnya hidup harmonis sesuai visi Ihsan yang berkorelasi dengan nilai-nilai religiusitas. Dia tak ingin ada konflik di wilayahnya.
"Antarwarga yang memiliki perbedaan latar belakang juga kepercayaan, masing-masing pihak jangan sampai memunculkan hal-hal yang bisa memantik perselisihan," kata dia.
Dia mengimbau masyarakat untuk menghindari sikap anarkis yang berujung pada pecahnya konflik horisontal. Pasalnya, hal itu dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang sudah dicapai selama ini.
Kota Bekasi diketahui memiliki sejarah yang panjang. Seperti dikutip dari Bekasikota.go.id, Bekasi tempo dulu merupakan Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri, ibu kota Kerajaan Tarumanagara sekitar tahun 358-669.
Luas Kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor hingga ke wilayah Sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan fisiologi, letak Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai Ibukota Tarumanagara adalah di wilayah Bekasi sekarang.
Wilayah ini terus berkembang. Di era Hindia Belanda, Bekasi masih merupakan kewedanaan (district), termasuk regenschap (kabupaten) Meester Cornelis. Saat itu kehidupan masyarakatnya masih di kuasai oleh para tuan tanah keturunan Tiongkok.
Kondisi ini terus berlanjut sampai pendudukan militer Jepang. Pendudukan militer Jepang turut mengubah kondisi masyarakat saat itu. Jepang melaksanakan Japanisasi di semua sektor kehidupan.
Nama Batavia diganti dengan nama Jakarta. Regenschap Meester Cornelis menjadi Ken Jatinegara yang wilayahnya meliputi Gun Cikarang, Gun Kebayoran dan Gun Matraman. Setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan kembali berubah, nama Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa/Kelurahan.
Saat itu Ibu Kota Kabupaten Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu ke Cikarang, kemudian ke Bojong (Kedung Gede). Pada waktu itu Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Rubaya Suryanaatamirharja.
Tidak lama setelah pendudukan Belanda, Kabupaten Jatinegara dihapus, kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis menjadi Kewedanaan. Kewedanaan Bekasi masuk kedalam wilayah Batavia En Omelanden.
Sejarah setelah 1949, ditandai dengan aksi unjuk rasa sekitar 40.000 rakyat Bekasi pada 17 Februari 1950 di alum-alun Bekasi. Hadir pada acara tersebut Bapak Mu’min sebagai Residen Militer Daerah V.
Rakyat Bekasi ini menuntut Pemerintah Pusat agar Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Mereka menyatakan rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan motto "Swatantra Wibawa Mukti".
Pada 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke kota Bekasi. Kemudian pada 1982, saat Bupati dijabat oleh Abdul Fatah, Gedung Perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jalan A. Yani No. 1 Bekasi.
Perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi yang terdiri atas 4 kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1981, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat dan Bekasi Utara. Wilayah ini diisi 18 kelurahan dan 8 desa.
Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan menteri dalam negeri pada 20 April 1982, dengan wali kota pertama dijabat oleh Bapak Soedjono (1982 – 1988). Pada 1988, wali kota Bekasi dijabat Andi Sukardi hingga 1991. Kemudian diganti Khailani A.R. hingga 1997.
Bekasi pun kembali ditingkatkan menjadi kotamadya (sekarang Kota) melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1996. Menjabat wali kotamadya kepala daerah tingkat II Bekasi saat itu adalah Khailani A.R., selama satu tahun, 1997-1998.
Berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai 23 Pebruari 1998, wali kotamadya kepala daerah tingkat II Bekasi definitif dijabat Nonon Sonthanie (1998-2003). Setelah pemilihan umum berlangsung, terpilihlah Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bekasi: Akhmad Zurfaih dan Moechtar Muhammad (2003 - 2008). (Antara)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(OGI)