Baginya, membaca tak sekadar merangkai huruf, tetapi harus bisa menganalisis dan menyambungkan konteks satu dengan lainnya sehingga bisa menarik benang merah dari satu paragraf.
"Membaca dalam arti memahami yang terkandung dalam pokok pikiran satu kalimat. Kita bisa memahami apa yang tersurat dan mengambil apa yang tersirat. Itu yang harus terus dilatih dan diajarkan untuk anak-anak kita," kata Najwa saat didapuk sebagai narasumber dalam acara tersebut, Selasa (26/4/2016).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Tampil sebagai narasumber bersama Plt Kepala Perpustakaan Nasional Edi Junaedi, anggota DPR dari Fraksi PPP Reni Marlinawati, dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Sukabumi Dudi Fathul Jawad, Najwa berkeinginan ke depan menciptakan lebih banyak lagi duta baca.
Trennya sudah mulai terlihat di sejumlah daerah. Banyak gerakan dan inisiatif warga yang mengarahkan agar orang mencintai buku. Di Kabupaten Polewali Sulawesi Barat, misalnya. Di sana ada namanya perahu pustaka. Atas inisiatif warga, perahu itu membawa puluhan buku dan berkunjung ke pulau-pulau di sekitar Sulawesi supaya anak-anak di pulau terjauh mendapatkan kesempatan membaca buku.
Kemudian di Pegunungan Selamet ada namanya kuda pustaka. Tokohnya merupakan inisiatif warga sendiri. Kuda (delman) itu biasanya digunakan untuk wisata. Di sela tokoh itu sedang tak bekerja sebagai kusir, delmannya dia isi penuh dengan buku dan berkeliling ke kampung-kampung untuk meminjamkan buku ke anak-anak.
"Inisiatif-inisiatif seperti ini saya kira perlu dihargai dan terus ditumbuhkembangkan," kata Najwa.
Bagi Mbak Nana, sapaan akrab Najwa, buku seolah menjadi darah daging. Dia sudah diajarkan mencintai buku oleh keluarganya sejak sebelum bisa membaca.
"Saya belajar dari pengalaman. Sejak sebelum bisa membaca, saya sudah dibacakan buku oleh ibu. Di rumah selalu dipenuhi buku. Keluar rumah pun diajak ke toko buku. Saya percaya betul, keluarga sebagai fondasi kuat betul-betul merupakan tempat mengenalkan anak-anak agar cinta dan mencintai buku," jelasnya.
Sayangnya, lanjut dia, sudah terlalu lama bangsa Indonesia memunggungi buku. Buktinya bisa dilihat dari gejala-gejala sosial yang terjadi saat ini.
"Masyarakat semakin mudah terprovokasi. Dapat berita hoax saja mudah percaya, fitnah berseliweran, dan orang dengan sangat mudah mempercayai itu. Ini merupakan contoh betapa kurangnya kebiasaan kita untuk teliti dan mengkroscek data yang semuanya itu unsurnya dari buku. Ini karena kita lemah membaca. Tradisi kita lemah sehingga mudah terprovokasi," kata dia.
Permasalahan-permasalahan itu, menurut dia, harus diserang dari berbagai lini. Apakah melalui inisiatif masyarakat atau bisa juga melalui buku.
"Sekarang Kemendikbud sudah ada gerakan 15 menit membaca buku sebelum masuk sekolah. Artinya setiap lini harus punya gerakan masing-masing supaya bisa di-handle bersama-sama. Saya tidak percaya pemerintah bisa menyelesaikan persoalan ini sendiri. Ini bukan persoalan pemrintah, juga bukan persoalan perpustakaan. Tapi ini persoalan bangsa. Ini persoalan negeri," tegasnya.
Serbuan teknologi juga cukup berpengaruh terhadap perkembangan membaca. Perkembangan teknologi dengan bermunculannya gadget, kata Najwa, menjadi persoalan. "Belum fasih kita membaca buku, ternyata sudah diperkenalkan dengan teknologi informasi," kata dia.
Plt Kepala Perpustakaan Nasional Edi Junaedi berharap kegiatan tersebut bisa menjadi sarana berbagai pendapat dan pengalaman. Artinya, jika di provinsi atau di kota/kabupaten sudah terdapat perpustakaan yang terbilang maju, maka bisa menjadi motivasi bagi daerah lainnya.
"Tahun ini Provinsi Jawa Barat mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentant Sistem Informasi Layanan Publik (Sinopik) dengan judul wajah baru layanan perpusatakaan," kata Edi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)