“Istilah cantrang di sini disebut saya tarik. Jika alat atau cara itu dilarang maka nelayan mau makan apa?” ungkap Tamad (45), salah satu nelayan, Rabu (4/3/2015).
Tamad berpendapat, saya tarik adalah satu-satunya cara bagi nelayan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ia menegaskan, pelarangan tersebut justru akan menambahkan kesengsaraan pada nelayan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Saat memakai saya tarik pun, dalam satu hari nelayan hanya bisa dapat penghasilan Rp400.000,-, itu pun digunakan untuk solar sebesar Rp250.000,- dan kebutuhan lain. Nah, sisanya dibagi untuk awak kapal yang rata-rata berjumlah 3 orang. Hanya dapat sekitar Rp50.000,-/orangnya,” lanjut Tamad.
Selain itu, tambah Tamad, pelarangan saya tarik bisa berpotensi pada kebiasaan saling curi di antara para nelayan. Menurut dia, hal tersebut ditakutkan akan memberikan kekacauan dalam keseharian nelayan.
“Misal pakai jaring yang dipasang biasa, jika satu jaring hilang dicuri, maka nelayan yang hilang akan melakukan hal yang sama, begitu seterusnya,” katanya.
Persoalan lain yang cukup membebani para nelayan saat ini adalah mahalnya harga bahan bakar solar hingga mencapai Rp7.000,- per liternya. Hal itu dikatakan Sanusi (41), salah seorang warga yang mengaku telah memiliki pengalaman puluhan tahun melaut.
“Jika membeli di eceran harga solar bisa mencapai 7.000 per liter. Ini sebenarnya sangat berat bagi nelayan. Yang cukup imbang itu jika harga solar sekitar 5.000,- rupiah per liternya,” kata Sanusi.
Baik Tamad maupun Sanusi berharap, apapun bentuk kebijakan pemerintah diharap memiliki keberpihakan pada nelayan. Terkait soal kekhawatiran rusaknya ekosistem laut karena penggunaan saya tarik, Sanusi mengatakan tidak semua wilayah layak dijadikan dasar dari terbitnya kebijakan pelarangan tersebut.
“Misal alasannya merusak karang, maka di sini bukan wilayah karang. Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan, red) boleh meninjau secara langsung. Jika ditakutkan akan membunuh ikan-ikan kecil, tidak semua ikan kecil itu adalah ikan yang belum besar atau masih bibit, memang bentuknya seperti itu. Jadi, jangan pukul rata,” jelasnya.
Bahkan, Sanusi menantang pemerintah pusat agar lebih tegas dalam menindak pengusaha yang mencari ikan dengan teknik bom serta para penggali karang. Ia berpendapat, kebijakan berani Menteri Kelautan dan Perikanan RI baru pada penenggelaman kapal asing saat diketahui melakukan pencurian ikan.
“Jadi, saya tarik sih tidak ada apa-apanya. Coba lihat dan tindak para perusak itu. Kalau nelayan kecil seperti kami serba dilarang, maka siap tidak menanggung kompensasinya?” Tanya Sanusi.
Jumlah perahu milik nelayan di Desa Mundu Pesisir sebanyak 100 buah, untuk satu perahu biasanya digunakan oleh sedikitnya 3 awak atau nelayan dalam mencari ikan. Sistem saya tarik atau cantrang dogol dalam dipakai oleh hampir keseluruhan nelayan di desa tersebut saat mencari ikan.
Saya tarik atau cantrang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang dikaitkan pada ujung sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri dari kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring, tali penarik (warp), pelampung dan pemberat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)