Ketua Kelompok Tani Ngudhi Makmur, Dusun Beneran, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Haryanto, 56, mengatakan sawah di dusunnya sering kesulitan air karena karakter sawahnya yang merupakan sawah tadah hujan.
"Tanah di tempat kami didominasi batuan cadas sehingga sulit membuat sumur. Sawah kami juga jauh dari sumber air. Jadi, sawah kami hanya mengandalkan hujan. Sampai sekarang hujan masih jarang turun di sini," ujar Haryanto di Pakem Sleman, Yogyakarta, Senin (11/1/2016).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Selama ini belum ada upaya mengatasi kekurangan air. Padahal, untuk dapat memanen satu pohon salak dibutuhkan lahan yang lembab dan asupan air yang banyak. Pendampingan dari pemerintah terkait MEA sudah didapatkan, namun tak menyelesaikan permasalahan kelangkaan air di tempatnya
Sebanyak 44 petani salak yang tergabung dalam Kelompok tani Ngudhi Makmur hanya bisa pasrah dan menerima nasib melihat semakin berkurangnya pendapatan mereka. "Saya angkat tangan kalau harus memenuhi standar pasar bebas. Dinas sudah bantu kami dan menjelaskan soal pasar bebas, tapi kami terkendala air," kata dia.
Sementara itu, salah seorang pedagang salak di Dusun Cepet, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Arum Tiana, 34, mengeluhkan makin berkurangnya pasokan buah salak dari petani.
Menurutnya pengurangan ini terjadi akibat sedikitnya curah hujan di Yogyakarta. Padahal, masa panen salak sudah hampir berakhir. "Kemarau kali ini cukup panjang. Biasanya saat panen bagus, saya bisa kirim salak ke Jawa Timur sampai 10 ton per hari. Tapi, sekarang saya cuma bisa kirim 1-2 ton per hari," tutur dia.
Ia tak mau ambil pusing soal MEA dan tak tertarik meningkatkan kualitas buahnya sesuai syarat MEA yang berlaku. "Buah di sini kan belum banyak yang memenuhi syarat MEA. Saya juga bingung mengurus persyaratannya," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)