Drajat, staf Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Tegal. Ia mengaku sistem TUF dan geomembran sangat efektif mendongkrak produktifitas. Keuntungan itu berlipat bila dibandingkan dengan sistem tradisonal yang hanya Rp30 juta per hektare.
"Lahan garam seluas 1 hektar terdiri dari saluran pemasukan air dan tandon air yang ada di sisi lahan, petakan ulir yang dihubungkan dengan filter, serta 14 meja kristalisasi garam," kata Drajat di Brebes, Minggu (1/11/2015).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Drajat mengatakan lahan garam seluas satu hektare memproduksi garam 1,5 ton per 10 hari per meja kristalisasi. Meja tersebut berukuran 10 m x 20 m.
Dengan kata lain, produktivitas garam di Desa Kaliwlingi mencapai 252 ton per hektare per musim. Bila dilakukan dengan cara tradisional, produksinya hanya 60 ton per hektare per musim.
"Dengan system TUF dan Geomembran, produksi naik sebesar 400 persen,yang membuat petambak garam di sekitar lokasi secara spontan ikut menerapkan tekhnologi TUF dan Geomembran secara swadaya," ungkap Drajat.
Surya, petani garam di Desa Kaliwlingi, membenarkan hal tersebut. Ia menilai budidaya garam cukup menjanjikan. Dalam masa produksi selama 12 hari, petani dapat memanen garam. Dalam setahun, kata Surya, panen garam dapat terjadi sebanyak 24 kali.
"Selain produksinya meningkat kualitasnya juga bagus, yakni lebih putih dan bersih," ungkap Surya.
Bupati Brebes Idza Priyanti pun menyambut gembira penggunaan sistem TUF dan geomembran. Bupati mengatakan lima kecamatan penghasil garam telah menggunakan sistem tersebut yakni Brebes, Wanasari, Bulukumbang, Tanjung, dan Losari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)
