Ia mencontohkan kebijakan penanaman jutaan pohon jarak sebagi bahan baku biodisel mandek di tengah jalan.
"Awalnya masyarakat menyambut baik kebijakan pemerintah menyediakan lima juta kiloliter (kl) BBN pada 2010. Karena lahan mereka bisa ditanami pohon jarak," ujar Sultan saat Talkshow Kemandirian Energi, di UGM Yogyakarta, seperti dikutip dalam siaran persnya, Jumat (17/4/2015).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Namun, lanjut Sultan masyarakat kecewa karena akhirnya produk mereka tak bisa terjual. "Alasannya waktu itu biaya jarak kurang ekonomis dibanding harga solar subsidi," tutur politikus Partai Golkar itu.
Selain itu, ia menambahkan pemerintah tidak berani untuk melarang ekspor molasses (tetes tebu) yang dijadikan bahan baku bioetanol paling ekonomis.
"Padahal 600 ribu ton Molasses yang diekspor per tahun jika diubah bisa menjadi 15 ribu kl Bioetanol. Jumlah ini cukup banyak untuk didistribukan dengan BBM," tukasnya.
Sultan menilai Indonesia seharusnya bisa meniru Brasil yang telah berhasil mengembangkan Bioetanol sebagai bahan bakar. "Dengan mengembangkan bioetanol, Brasil telah berhasil mengefisiensi biaya produksi USD17,5 per barel dengan total produksi 16 miliar per tahun," papar Sultan.
Sementara itu dalam acara yang sama, Direktur Utama Pertamina Dwi Sucipto menegaskan pihaknya kini serius untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan. Salah satu langkah yang diambil adalah membentuk divisi energi baru terbarukan (EBT) dan mengembangkan teknologi dan riset untuk pengelolaan EBT.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(AHL)