Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazza Malik meninjau lokasi usaha penggergajian kayu di Jepara, Jawa Tengah. (Metrotvnews.com/Rhobi Shani)
Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazza Malik meninjau lokasi usaha penggergajian kayu di Jepara, Jawa Tengah. (Metrotvnews.com/Rhobi Shani) (Rhobi Shani)

Gegara Permendag, Lisensi FLEGT Bisa Tertunda

industri kecil menengah
Rhobi Shani • 23 Februari 2016 14:57
medcom.id, Jepara: Pemilik usaha pemotongan kayu resah. Omzet perlahan menurun sejak terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No 89/2015 Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Sebab, eksportir produk kehutanan tidak lagi diwajibkan melampirkan dokumen V-Legal sebagai syarat dokumen kepabeanan.
 
Aturan ini tidak lagi mewajibkan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) bagi industri kecil menengah mebel. Yang terlibat di industri ini hanya diharuskan melampiri dokumen yang membuktikan bahwa bahan bakunya berasal dari pemasok yang telah memperoleh SVLK.
 
Pengusaha penggergajian kayu Ali Sodiqin, menyampaikan, sebelum terbit Permendag 89/2015, bisnis yang dijalankannya meningkat. Itu lantaran pabrik dan eksportir mebel memilih menggergajikan kayu di pemotongan yang sudah memiliki SVLK.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Tapi dengan adanya aturan baru ini kami malah menjadi bingung karena SVLK tidak lagi diwajibkan,” ujar Ali Sodikin, di Jepara, Jawa Tengah, Selasa (23/2/2016).
 
Sejak permendag tersebut terbit, pabrik mebel dan eksportir bisa memotong kayu di lokasi penggergajian manapun. Tidak harus menggergajikan kayunya di penggergajian yang sudah memiliki SVLK.
 
Menurut Ali, melihat Permendag tersebut, usaha jasa pemotongan kayu yang dikelolanya harus terdaftar sebagai penjual kayu. Konsekuensinya, pajak jual beli dibebankan pada penjual kayu.
 
"Padahal kami hanya penyedia jasa pemotongan, tidak menjual kayu. Itu karena kami berbeda dengan pabrik kayu yang ada pada umumnya, yang menjual lalu dipotong sendiri dan diolah sendiri," papar Ali.
 
Ali berharap, aturan SVLK tetap diberlakukan. Karena dampak positif dari sistem tersebut sudah dirasakan banyak pihak. Tidak hanya pengusaha penggergajian kayu, tapi juga pedagang kayu dan pelaku industri mebel.
 
“Harapan saya SVLK tetap ada. Sekarang sudah banyak penggergajian kayu yang mau mengurus SVLK,” kata Ali.
 
Lisensi ditunda
 
Sementara itu, Direktur Program Multistakeholder Forestry Programme, Smita Notosusanto, menambahkan, saat ini Jepara merupakan salah satu sentra produsen mebel ekspor. Volume ekspor mebel Jepara berkisar 400 hingga 450 kontainer setiap bulan.
 
“Namun, dengan terbitnya Permendag 89/2015, ekspor produk kayu Indonesia terancam kehilangan akses pasar di Eropa,” terang Smita mendampingi Moazza Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, saat meninjau lokasi usaha penggergajian kayu di Desa Kecapi, Tahunan, Jepara.
 
Ditambahkan Smita, hal itu lantaran aturan tersebut mengecualikan produk mebel dan sekaligus melanggar kesepakatan sukarela bilateral Indonesia dengan Inggris dan Uni Eropa, Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Dampaknya, pemberian lisensi FLEGT untuk Indonesia akan tertunda.
 
“Ini akan menyababkan kerugian besar bagi eksportir produk kayu. Itu sebabnya kunjungan Dubes Inggris ingin melihat langsung kondisi riil di lapangan seperti apa,” kata Smita.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(SAN)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif