Kementerian PPPA menggandeng warga kampus untuk berkomitmen menjadi kan kampus yang responsif gender agar ramah terhadap perempuan dan anak.
Pasalnya kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Indonesia cukup tinggi. Data mengatakan satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual. Bahkan 1 dari 10 perempuan pernah mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Program kita sekarang akhiri kekerasan terhadap perempuan. Akhiri perdagangan manusia di mana perempuan dan anak jadi korban, dan akhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan,” kata Menteri Yohanna saat memberikan kuliah umum di ruang Auditorium Merapi Fakultas Geografi UGM, Jumat, 9 November 2018.
Menurutnya kampus yang responsif gender penting untuk menurunkan angka kekerasan fisik dan seksual.
Dalam waktu dekat Kemeterian PPPA akan meluncurkan program universitas responsif gender.
"Biar nanti tidak ada lagi kejahatan dan kekerasan perempuan dan anak,” jelas Yohana.
Program yang sama sudah dilakukan di 10 ribu sekolah di Indonesia. Dan puluhan ribu sekolah ini sudah mampu menekan tingkat kekerasan pada anak dan perempuan.
Terkait kekerasan pada perempuan dan anak, Menteri Yohanna menyoroti angka partisipasi kerja perempuan mengalami penurunan. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan saat ini sebesar 48,87 persen, Sementara laki-laki mencapai 82,71 persen.
Menurut Yohana, ada kecenderungan perempuan setelah lulus pendidikan memilih bekerja di sektor domestik. Padahal perempuan berpotensi untuk memberikan kontribusi besar pada sektor perekonomian.
Selama ini kontribusi perempuan pada ekonomi baru sebesar 35,53 persen. "Kalau tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dinaikkan menjadi 64 persen seperti Thailand ,maka akan terdapat 20 juta angkatan kerha semi-skilled dan skilled baru,"pungkasnya.
Untuk itu pemerintah menargetkan pada 2030, angka rasio perempuan dan laki-laki bekerja sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(DEN)