Slamet Jumiarto, warga beridentitas Kota Yogyakarta yang ditolak mengontrak rumah di Kabupaten Bantul. Medcom.id-Ahmad Mustaqim
Slamet Jumiarto, warga beridentitas Kota Yogyakarta yang ditolak mengontrak rumah di Kabupaten Bantul. Medcom.id-Ahmad Mustaqim (Ahmad Mustaqim)

Beda Agama, Sekeluarga Ditolak Tinggal di Bantul

pemakaman kerukunan beragama toleransi beragama
Ahmad Mustaqim • 02 April 2019 14:53
Bantul: Slamet Jumiarto bersama istri dan dua anaknya ditolak mengontrak rumah di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penolakan ini berdasar pada aturan dusun setempat bernomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015. Dalam aturan itu, pendatang nonmuslim tak diizinkan tinggal.  
 
Slamet mengatakan dirinya mulai menempati sebuah rumah di Dusun Karet sejak 29 Maret 2019. Ia mengatakan keputusan mengontrak rumah itu karena tak ada masalah warga nonmuslim tinggal di sana. 
 
Ia kemudian menemui perangkat desa, dimulai dari RT hingga pejabat dusun. Di sana, ia dimintai salinan KTP, kartu keluarga (KK), dan surat nikah. "Karena begitu dilihat kami nonmuslim lantas kami ditolak sama Pak RT dan kepala dusun," kata Slamet di Bantul pada Selasa, 2 April 2019. 

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Mengetahui hal itu, Slamet sempat terpancing emosi. Ia tak langsung mencoba ke perangkat desa yang lebih tinggi, namun ke pemerintah DIY. 
 
Oleh pemerintah DIY, Slamet diantar menemui perangkat desa. Pertemuan dilakukan bersama ketua RT, kepala dusun, dan kepala desa. "Musyawarah, tapi ditolak," ujar warga beridentitas Kota Yogyakarta ini.
 
Selamet mengaku sempat bersikeras untuk tetap bisa mengontrak di rumah itu. Selain diizinkan pemilik rumah, Slamet juga sudah menyerahkan biaya kontrak sebesar Rp4 juta. Ia juga mengatakan sejumlah warga yang dituakan tak keberatan meski dirinya nonmuslim. 
 
"Gak apa apa saya di sini, walaupun berbeda agama yang penting tidak meresahkan, tidak merugikan, dan tidak mengadakan jemaat di rumah terus," kata dia. 
 
Sejumlah saran muncul kepada Slamet. Salah satunya ia diizinkan tinggal selama enam bulan dan setengah dari harga uang mengontrak rumah dikembalikan. Namun, Slamet merasa saran tersebut sebagai bentuk penolakan secara halus. 
 
Ia menginginkan adanya perubahan isi aturan itu karena bertentangan dengan ideologi Pancasila dan perundang-undangan. Secara pribadi, Slamet menginginkan pindah usai kejadian itu. 
 
"Kalau pemilik sudah mengembalikan uang ini, saya juga sedang cari tempat. Saya bayar (kontrakan) setahun Rp4 juta dan renovasi Rp800 angkutan Rp400 ribu," kata lelaki berusia 42 tahun itu. 
 
Kepala Desa Pleret, Nurman Afandi, mengatakan masyarakat pendatang harus mematuhi aturan lokal di wilayah setempat. Meski aturan itu diskriminatif, ia baru tahu keberadaan aturan itu usai peristiwa akhir pekan lalu. 
 
"Salahnya masyarakat sudah menyetujui (aturan). (Aturan) ini harus ditelaah kembali. Warga sudah menyadari," ungkapnya. 
 
Bupati Bantul Suharsono mengatakan aturan melarang warga nonmuslim tinggal adalah bentuk diskriminasi. Ia menegaskan warga nonmuslim tetap boleh tinggal di wilayah Bantul, termasuk Dusun Karet. Ia menyatakan harus ada perubahan aturan di tempat tersebut. 
 
"Saya tak (akan) turun, tak ajak diskusi bagaimana. (Slamet bisa tinggal) yang penting tak mengganggu. Yang penting gak mengganggu lingkungan. Saya segera koordinasi dengan yang punya rumah, dukuh, dan sebagainya," ungkapnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(ALB)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif