Hari itu, Kamis, 2 Agustus 2018, pukul 15.15 WIB, Hariyatun mengenakan daster abu-abu motif bunga lengan pendek dan rambutnya terikat ikat rambut. Ia membatik di teras rumahnya beralas tanah dan berdinding kayu.
Sebuah wajan kecil berisi malam ditaruh di atas bara kayu bakar, membujur sepanjang satu meter. Tanpa alas kaki, ia duduk di atas kayu bekas bangunan. Kulitnya yang sawo matang mulai keriput. Ibu beranak tiga ini terlihat memiliki kemampuan membatik sangat baik.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Hariyatun yang mulai membatik sejak usia 10 tahun itu, mengaku terjun di dunia batik karena melanjutkan pekerjaan orang tuanya. Hariyatun hanya membatik jika punya modal. Produknya yang berupa kain bergores malam yang masih kasar akan diwarnai si pembeli sendiri.

(Perempuan buruh batik tulis di Leksa Ganesha Batik Bantul, Medcom.id - Ahmad Mustaqim)
“Batiknya dijual sendiri, kalau tidak ada modal ya tidak membatik,” kataHariyatun, warga Dusun Karang Kulon, Desa Giriloyo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut Hariyatun, produktivitasnya tidak menentu. Paling banyak seminggu dia menyelesaikan satu lembar kain ukuran 1 meter x 2 meter, yang dijual sendiri ke pengepul di Pasar Prawirotaman, Kota Yogyakarta, sekitar 14 kilometer dari kampungnya.
Di pengepul, ia menjual kain tersebut seharga Rp70 ribu per potong. Harga itu masih dipotong Rp20 ribu untuk modal. Alhasil ia hanya mendapat keuntungan bersih Rp50 ribu.
“Berangkat sendiri kalau mau menjual. Terkadang sesama pembatik mandiri saling menitipkan barang yang akan mereka jual. Ngirit bensin (hemat ongkos),” ujarnya.

(Pintu masuk ke Dusun Karang Kulon, Desa Giriloyo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sebagian besar perempuannya ahli membatik, Medcom.id - Ahmad Mustaqim)
Keluarga Hariyatun terdiri dari empat orang, seorang suami dan dua anak. Seorang anaknya pergi merantau ke Jakarta. Ia bercerita, keuntungan dari membatik jelas sangat tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Suaminya, Sabari berusia 61 tahun, bekerja buruh bangunan lepas. Pendapatan dari membatik katanya, hanya sebatas membantu meringankan beban suami.
“Kalau yang satu tidak bisa kerja, yang satu bisa ada penghasilan buat nyambung umur,” kata Hariyatun.
Upah rendah Sogiyah dan Hariyatun tak dirasakan laki-laki pembatik tulis. Salah satunya Kristina Datu Kusuma. Pada Selasa, 28 Agustus 2018, Datu sapaan akrabnya, membatik di ruang berukuran 3 meter x 4 meter, di RT 38 RW 9 Tamansari, Kota Yogyakarta. Hari itu, Datu mengenakan kaos batik didominasi waena hitam dan biru.
Baca: Penjaga Waris ‘Goresan Malam’ Diupah Rp600 Ribu
Kemampuan Datu yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) membatik, meneruskan pekerjaan ayah dan pamannya. Ia belajar membatik otodidak sejak 2001. Cara Datu membatik tulis, mengombinasikannya dengan seni lukis. Dari tangannya, ia membatik kaos, selendang, dan jarik.
“Membatik jika ada pesanan,” ujarnya.
Harga kaos batik Datu, dijual sekitar Rp150 ribu hingga Rp300 ribu. Selendang dan jarik batik, dijual sekitar Rp500 ribu-Rp800 ribu. Menurut Datu, harga dipatok berdasarkan tingkat kerumitan pengerjan motif batik.
“Saya mengerjakan (batik) dan menjual sendiri. Kalau ramai, seminggu bisa menual 20 batik. Kalau sepi, sebulan pernah tidak sama sekali,” katanya.
Jika dihitung perbandingannya, pendapatan Datu di kala ramai, bisa mencapai sepuluh kali lebih besar dibanding pendapatan Hariyatun, yang juga pebatik tulis mandiri. Kata Datu, upah rendah jika jadi buruh yang menjadikannya memilih jadi pebatik mandiri, berbekal kemampuan otodidaknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)
                                    
                            
								
								
								
								
								
								
								
								
								
								
								
        
            