Pagi itu, 1 Agustus 2018, sekitar pukul delapan, Bahriyah yang mengenakan jilbab merah dan baju daster lengan panjang hijau motif bunga, memulai harinya. Dia mengayuh sepeda biru yang dilengkapi keranjang hitam, berangkat menuju rumah batik Sri Kuncoro, yang berjarak sekitar 150 meter dari rumahnya melalui jalanan yang menanjak dan menurun dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Di tempat itulah Bahriyah mencari nafkah sebagai buruh batik.
“Sebelum berangkat kerja, urus rumah dulu. Jika sudah selesai, berangkat kerja (membatik),” kata Bariyah dalam bahasa Jawa, saat ditemui di Batik Sri Kuncoro.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Tiba di rumah batik Sri Kuncoro, rekan pebatik lain yakni Sogiyah dan Wasingah telah tiba lebih dulu. Kata Bahriyah, ada 20 perempuan jadi buruh batik tulis. Tapi tak semua pembatik masuk kerja tiap hari, sebagian besar memilih membawa pulang pekerjaan, lantaran mereka masih harus menyelesaikan pekerjaan lain di rumah.
Banyak perempuan Giriloyo dari kecil bisa membatik tulis. Keahlian yang dilakukan turun-temurun sejak abad 17 masehi. Bahriyah yang mulai bisa membatik sejak usia 10 tahun itu memperoleh kemampuan membatik dari orangtuanya. Pada umur 12 tahun, ia sudah mampu memproduksi batik tulis, yang dia jual sendiri.
Hasil batik yang dia buat masih berupa kain dengan goresan malam (elemen untuk membatik) yang belum diwarnai, atau masih kasar.
"Mengko adole batik nang kutho (nanti menjual batiknya di Kota Yogyakarta)," kata Bahriyah.
Bahriyah sudah menjadi buruh batik di Sri Kuncoro selama enam tahun. Tiap hari ia bisa merampungkan satu hingga dua lembar kain batik ukuran 1 x 2 meter. Kain yang sudah dibatik Bahriyah masih harus dirapikan, dengan penebalan, serta pewarnaan. Dalam sebulan ia mendapat upah sekitar Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. Baginya, hasil itu tak sepenuhnya cukup untuk memenuhi segala kebutuhan di rumah.
“Tidak cukup upahnya dengan kebutuhan bulanan,” kata Bahriyah.
Pada 2006, ketika Yogyakarta diguncang gempa, Bahriyah bercerita, kala itu hasil kerja membatik tak lagi laku, karena memang sepi pembeli. Lalu Bahriyah memutuskan tak lagi membatik. Ia membantu keluarganya membersihkan material bekas gempa dan menggarap lahan untuk bercocok tanam. Dalam situasi pascabencana, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Bahriyah dan keluarga mengandalkan bantuan yang berdatangan untuk bencana.
Dua tahun pascagempa, pemerintah menjalankan program pembinaan kepada pembatik secara berkelompok. Mulai dari pelatihan dasar membatik, mengisi atau menggoreskan malam, hingga proses pewarnaan. Pelatihan membatik itu setidaknya membantu para perempuan di Desa Giriloyo kembali menumbuhkan asa menjalankan industri kreatif itu. Di sisi lain, dengan membatik bisa mendapat penghasilan karena tak semua penduduk memiliki lahan garapan untuk bertani.
Waktu berjalan, manfaat pelatihan tak sebatas untuk para pembatik. Hasil pelatihan itu, untuk menopang perekonomian, perempuan pembatik di Desa Giriloyo dibagi beberapa kelompok untuk menjalankan usaha batik.
Rekan buruh batik Bahriyah di Sri Kuncoro bernama Sogiyah. Hari itu ia mengenakan kaos dan berjilbab merah. Di rumah, ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga saban pagi. Ia mengayuh sepedanya ke batik Sri Kuncoro saat jarum jam menunjuk angka delapan. Sejak usia 10 tahun, ia sudah bisa membatik.
Usia Sogiyah 50 tahun. Kata dia, ada 13 kelompok usaha batik di desanya. Salah seorang diantaranya pemilik usaha produksi kain batik. Pembentukan kelompok sebagai jalan mempermudah pemerintah memberikan bantuan, seperti tempat duduk untuk membatik, gawangan, kompor kecil, serta peralatan lain membatik.
“Katanya dikelompokkan biar maju,” ucap Sogiyah.
Namun kemajuan itu tak sepenuhnya terjadi, kata Sogiyah. Menurutnya, secara manajemen bisnis, industri batik di Bantul merupakan kategori Usaha Masyarakat Kecil Menengah (UMKM), dan bisa berjalan baik. Namun, keuntungan sebenarnya lebih dirasakan juragan atau pemilik usaha batik.
“Buruhnya tak mendapatkan banyak keuntungan,” kata Sogiyah.
Tiap hari, Sogiyah, Bahriyah dan puluhan pebatik perempuan lain bekerja sejak sejak pukul 8 pagi hingga jam 4 sore. Baginya, membatik dengan konsetrasi dan ketelatenan tinggi. Mempertimbangkan ketebalan goresan dan sebaran malam pada kain. Sebagian waktunya di siang hari dihabiskan untuk membatik.
“Istirahat hanya salat duhur, terus makan. Tidak sampai sejam, lalu membatik lagi. Jika ada acara kerja hanya setengah hari,” ucap Sogiyah.
Menurut Sogiyah, kerumitan membatik tulis, membuat produktivitas mereka tak banyak. Per kain batik tulis paling cepat selesai dalam waktu sebulan. Itupun dikerjakan sejumlah orang. Adapula produksi kain batik memakan waktu 3 hingga 4 bulan. Lamanya pengerjaan batik itu bergantung pada kerumitan motifnya. Sejumlah motif batik yang cukup rumit di antaranya, sidomukti, pringgodani, dan parang.
Dari sisi penghasilan, pembatik perempuan hanya mendapatkan upah Rp500ribu hingga Rp600 ribu per bulan. Upah tersebut berasal dari penghitungan sekali penyelesaian kain batik tulis diupah sekitar Rp30 ribu hingga Rp60 ribu. Sogiyah mengaku pendapatan itu sangat kecil.
Namun, mereka hanya pasrah. Tak ada penghasilan lain selain membatik untuk bantu pendapatan keluarga.
“Cukup ra (tidak) cukup, dicukup-cukupke. Rezeki datang dari manapun. Mboten kenyono-nyono (datang tidak terduga),” kata dia.
Ia menambahkan, tak ada kerja lembur bagi buruh batik. Tak ada pula tambahan penghasilan lain bagi para buruh. Mereka dapat tambahan Rp25 ribu hingga Rp30 ribu jika ada kegiatan workshop membatik dari wisatawan ataupun konsumen datang belanja.
“Tambahan upah jika ada wisatawan belajar batik atau konsumen belanja,” kata Sogiyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)
                                    
                            
								
								
								
								
								
								
								
								
								
								
								
        
            