Kepala BPPTKG Yogyakarta Hanik Humaida menjelaskan, erupsi besar Gunung Merapi terjadi dalam beberapa periodik. Pada 1872, gunung yang berada di perbatasan Sleman, Boyolali, Klaten, dan Magelang ini mengalami erupsi eksplosif.
"Erupsi saat itu sama seperti peristiwa 2010. Setelah beberapa kali terjadi erupsi freatik dan terjadi erupsi Magmatik pada 1883," ujar Hanik di Yogyakarta, Selasa, 22 Mei 2018.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Erupsi Magmatik kemudian terjadi pada 1930, 1939, dan 2010. Dia mengungkap, di sela erupsi Magmatik selalu terjadi erupsi freatik.
"Lalu erupsi magmatiknya kapan? Belum tahu. Kami masih terus memantaunya," ujarnya.
Baca: Letusan Freatik Merapi Disertai Gempa Tremor
Hanik menuturkan, ada beberapa proses gunung berapi untuk erupsi magmatik. Pertama, penghancuran kubah lava dengan adanya erupsi vulkanian disertai freatik. Kedua, tumbuhnya kubah lava di puncak gunung.
"(Gunung) Merapi yang secara umum, seperti erupsi 2006, 2002, 1898, dan seterusnya, disertai pertumbuhan kubah lava," ungkapnya.
Selain itu, tebing kawah lava di puncak gunung akan longsor. Hal itu disusul dengan runtuhnya kubah lava, sehingga memunculkan awan panas. Seperti yang terjadi 2010 lalu, Gunung Merapi menghasilkan awan panas sejauh delapan kilometer.
"Kemudian hujan intensitas tinggi dan lahar turun. Itu tahapan dan skenarionya. Kita belum tahu kapannya," ucapnya.
Ia menambahkan, pemantauan di Pos Pemantauan Gunung Merapi (PGM) di pos pantau Selo, Jrakah, Kaliurang, dan Ngepos, tidak terlihat perubahan deformasi di puncak Gunung Merapi.
"Untuk itu, kami baru merekomendasikan agar tak ada aktivitas di jarak tiga kilometer dari puncak (Gunung Merapi). Masyarakat di KRB (Kawasan Rawan Bencana) III, tetap waspada. Kami terus koordinasi dan lakukan pemantauan," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(LDS)