Hari itu, Fuadni Rohmah sibuk merapihkan batik tulis pewarna alam. Ia bekerja sudah tiga tahun, jadi pembatik tulis. Perempuan berusia 28 tahun itu betah jadi pekerja batik tulis. Ia bekerja fleksible. Jika buruh lain berangkat pukul 8 pagi, ia terkadang tiba pukul 9 pagi dari rumahnya di Kecamatan Jetis, Bantul. Berjerak sekitar 5 kilometer.
Meski berangkat lebih lambat, ia tetap pulang bersamaan perempuan pembatik di batik Leksa Ganesha. “Kalau membatik di sini biasanya pulangnya jam tiga sore atau setengah empat,” ujarnya.
Kata Fuadni, pembuatan batik di Laksa Ganesha berdasarkan motif lukisan pada kain. Bisa berupa kain selendang atau kain panjang. Lama pengerjaannya juga bervariasi. Per lembar, mulai dari dua minggu hingga dua bulan. Ada sebanyak 10 perempuan pembatik di batik Leksa Ganesha. Mereka digaji sesuai UMR Bantul, yakni Rp1.527.150.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Tergantung kesulitannya juga,” ujarnya.
Selain membatik di lokasi, Fuadni juga membatik di rumah. Batik yang ia selesaikan bisa dititipkan di galeri batik Leksa Ganesha. Jika laku, keuntungan bisa dia kantongi.
Sementara itu, rekan Fuadni, Rahayu, mengatakan sudah membatik sekitar dua-tiga tahun di lokasi tersebut. Ia berangkat kerja dengan mengendarai sepeda motor dari rumahnya di Kecamatan Pandak, Bantul, dengan jarak 13 kilometer. Rahayu merasa diperlakukan sangat baik. Sebelum membatik pagi hari, sudah mendapatkan makanan ringan. Pada siang harinya juga mendapat makan.
“Kalau ada lembur, biasanya ada tambahan gaji. Lembur paling selesai jam setengah empatan sore,” kata dia.
Baca: Tak Ada Kontrak Kerja untuk Buruh Batik
Pemilik batik Leksa Ganesha, Tatang Elmy Wibowo, mengatakan, dirinya berupaya memberikan upah pantas bagi pekerjanya. Omzet usahanya tersebut bisa mencapai Rp70 juta per bulan saat musim liburan. Bahkan saat lebaran ia juga memberikan tunjangan hari raya (THR) sebesar satu kali gaji. Selain itu, pekerja juga diberikan biaya jaminan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Meskipun, biaya itu hanya untuk perempuan pekerjanya, bukan sekaligus keluarganya.
“Jadi biaya BPJS hanya untuk yang bekerja saja,” ucapnya.
Ia menambahkan, batik yang ia produksi sejak 2008 itu memakai dengan pewarna alami yang ramah lingkungan. Sebab, pewarna kain ini dibuat sendiri dari bahan seperti, kayu nangka untuk warna kuning, kulit kayu mahoni (warna kecoklatan); kulit buat jelawe (kuning tua, dan hitam). Terkadang juga memakai bahan dasar kayu mangrove. Penggunaan pewarna alami ini memakan waktu cukup lama. Kata Tatang, pewarna dengan pewarna alami harus dilakukan minimal sebanyak lima kali. Sekali mencelupkan ke air pewarna harus dikeringkan dulu sebelum dicelupkan kembali.
“Tapi kalau ada yang minta dengan pewarna sintetis kami tetap melayani,” kata dia.
Berbeda dari Fuadni dan Rahayu. Bahriyah bersama Sogiyah dan Hariyatun harus menyambung hidup dengan pendapatan kurang lebih Rp600 ribu per bulan.
Hariyatun misalnya. Ia hanya bisa sesekali datang ke pusat perbelanjaan batik di Yogyakarta. Ia menghabiskan banyak waktu di pelataran rumah demi upah Rp600 ribu. Ia tak berpikir untuk membeli kain atau baju batik tulis.
Baca: Cara Pembatik 'Menyambung Umur'
"Harganya pasti mahal," ungkap Hariyatun.
Upahnya tak mampu mengantarkan Hariyatun berbelanja di toko baju batik. Padahal, mungkin saja, baju-baju di toko itu adalah buah karya tangannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)
