Garing batas dari kepolisian terpasang di depan Gereja Santa Lidwina Bedog Sleman. (medcom.id-Ahmad Mustaqim)
Garing batas dari kepolisian terpasang di depan Gereja Santa Lidwina Bedog Sleman. (medcom.id-Ahmad Mustaqim) (Ahmad Mustaqim)

Perusakan Rumah Ibadah Akumulasi dari Banyak Masalah

penyerangan perusakan
Ahmad Mustaqim • 21 Februari 2018 09:46
Yogyakarta: Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ahmad Munjid, mengatakan peristiwa perusakan rumah ibadah di sejumlah wilayah di Indonesia ialah rentetan kejadian yang terjadi sebelumnya. 
 
"Sekarang kelompok radikal ada di mana-mana. Iklim keagamaan sekarang cenderung eksklusif," ujar Munjid saat dihubungi Medcom.id pada Selasa malam, 20 Februari 2018. 
 
Ia menuturkan, potensi kelompok tertentu melakukan tindak kekerasan atau penyerangan rumah ibadah bisa saja terjadi. Kendati sejumlah kasus pelakunya dianggap tidak waras, hal tersebut masih harus dilakukan penyelidikan mendalam. Menurutnya, tindakan intoleran yang terjadi akibat iklim yang mendukung. 

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Aktornya waras atau tidak sangat mungkin terjadi. Maka dari itu, yang pasti harus ada penegakan hukum. Polisi harus menindak dengan tegas bagi yang melanggar hukum. Orang akan berpikir kembali untuk melakukan hal yang sama," imbuhnya.
 
Akan tetapi, kata dia, realitas yang terjadi aparat cenderung tak banyak berkontribusi. Menurutnya, tidak tegasnya aparat menindak pelaku intoleran seperti memberikan pengakuan terhadap tindakan yang dilakukan. 
 
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM ini mengungkapkan kehidupan sosial secara umum semakin kompleks masalahnya. Ditambah mudahnya terhubung lewat media sosial, berakibat banyak kelompok yang terbelah sehingga rawan terjadi konflik. 
 
"Apalagi masuk tahun politik. Lalu masuk politik identitas yang sangat keras. Siapapun bisa ambil kuda-kuda dan terlibat (di dalam) konflik," ungkapnya. 
 
Ia berpendapat masyarakat plural banyak di Indonesia. Namun bila tidak dikelola dengan baik maka menjadi sangat rawan. Situasi itu, kata dia, akibat dari campuran masalah politik identitas, ilkim tahun politik, manajemen masyarakat plural tak optimal, dan kesenjangan ekonomi yang kemudian menjadi satu. 
 
"Kita harus kembali ke pengakuan bahwa Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural. Toleransi harus ditegakkan. Kedudukan juga harus sama di depan hukum," ujarnya. 
 
Kepala Bidang humas Polda DIY, AKBP Yulianto, mengatakan setiap kasus yang sudah terjadi harus ada penyelidikan dan pembuktian lebih dulu. Misalnya, jika pelaku tidak waras harus ada bukti yang buat menguatkan hal itu. 
 
Kepolisian kata Yulianto, sudah berupaya untuk mengambil tindakan saat peristiwa terjadi. "Kalau kaitannya dengan jaringan terorisme ini juga harus dibuktikan lebih dulu. Kepolisian selalu siap memberikan perlindungan ke masyarakat," ucapnya. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(LDS)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif