Agnes Dwi Rusjiati, Koordinator ANBTI DIY. Foto: Medcom.id/ Ahmad Mustaqim
Agnes Dwi Rusjiati, Koordinator ANBTI DIY. Foto: Medcom.id/ Ahmad Mustaqim (Ahmad Mustaqim)

Agnes Berjuang Membela Minoritas

Hari Kartini
Ahmad Mustaqim • 21 April 2018 17:17
Bantul: Ancaman dan teror sudah menjadi risiko perjuangan membela kaum minoritas. Kedua hal itu menjadi hal biasa yang dirasakan Agnes Dwi Rusjiati, Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
 
Perempuan asal Gunungkidul ini sudah sejak 2009 terlibat advokasi korban intoleransi di berbagai daerah di Indonesia.  Kiprah Agnes membela kelompok minoritas dimulai dari Bandung, Jawa Barat pada 2009.
 
Awal bergabung di ANBTI, ia kemudian banyak melakukan jejaring dengan organisasi kemasyarakatan. Ia merasa prihatin dengan situasi intoleransi yang terjadi di berbagai daerah.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Padahal pelakunya hanya kelompok itu-itu saja. Jumlahnya tidak besar," ujarnya kepada Medcom.id saat ditemui di kawasan Gedongkuning Yogyakarta, Jumat, 20 April 2018.
 
Atas keprihatinan itu, berdiam diri bukan solusi. Agnes kemudian ikut melakukan pendampingan dan advokasi. Advokasi kasus pertama soal Rencana Undang-Undang Pornografi yang dianggap mendiskriminasi kelompok adat dan kelompok tertentu.
 
Upaya Agnes bersama sejumlah koleganya gagal lantaran RUU tersebut kemudian disahkan. Sempat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, namun ditolak majelis hakim.
 
Singkat cerita, Agnes kemudian pindah ke Yogyakarta dan menjadi Koordinator ANBTI DIY. "Pas saya pindah 2014, Yogyakarta sedang menjadi sorotan karena terjadi berbagai tindak intoleransi," kata perempuan kelahiran 21 Desember 1976 ini.
 
Agnes Berjuang Membela Minoritas
Ilustrasi kekerasan wanita. Medcom.id/Rakhmat Riyandi
 
Ia mengatakan tidak mudah untuk melakukan pendampingan dan advokasi kelompok korban intoleransi di Yogyakarta. Ia menyebut masyarakat lebih banyak memilih diam dan tidak berani bersuara memperjuangkan haknya.
 
Bagi Agnes, berdiam atas intoleransi berarti menyetujui tindakan itu. Ia kemudian melakukan identifikasi kelompok-kelompok minoritas. Baik itu penghayat kepercayaan maupun keagamaan.
 
Kasus yang banyak Agnes tangani diantaranya di Gunungkidul, Bantul, dan Sleman. Tiga kabupaten tersebut menjadi lokasi yang berulang kali terjadi tindak intoleransi. Kasus tersebut didominasi permasalahan izin pendirian rumah ibadah.
 
"Pelaku intoleransi ini melakukan tindakannya terang-terangan," ujarnya.
 
Jalan yang Agnes pilih yakni membangun kapasitas dan kemampuan masyarakat akan kesadaran hak sebagai warga negara. Upaya ini Agnes tempuh tak semudah membalik telapak tangan. Tidak cukup dengan melakukan diskusi sekali atau dua kali.
 
Bahkan, ia pernah berbulan-bulan menginap untuk bisa berinteraksi lebih lama dengan kelompok minoritas. "Pernah ada teror berupa ancaman. Kalau sekarang semacam persekusi," ungkap alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.
 
Meski ada ancaman, ia tak lari. Agnes mengaku hanya mencari lokasi aman yang tak jauh dari lokasi yang sedang jadi obyek advokasi. Baginya, meninggalkan masyarakat menjadi korban sama dengan membiarkan orang lain bertindak semaunya.
 
Tuai hasil
 
Perasan Agnes sedikit lega pada 2015 lalu. Sebab, ada banyak rumah ibadah yang semula dipermasalahkan kelompok intoleran yang kemudian diakui pemerintah. Hal itu terjadi setelah terbitnya Surat Keputusan Bupati Gunungkidul yang berisi mengakui rumah ibadah yang berdiri sebelum 2006.
 
"Ada 1600 rumah ibadah diakui dan mendapatkan izin mendirikan bangunan pada 2015. Baik itu rumah ibadah untuk beragama Islam, katolik, kristen, Hindu, dan sejumlah agama," kisahnya.
 
Ia menuturkan, capaian itu harus dilalui dengan perjuangan berat. Selain beratnya membangun kesadaran masyarakat, juga menjalin komunikasi dengan pemerintah setempat.
 
Tak hanya Gunungkidul, Pemkab Bantul juga memberikan izin pendirian rumah ibadah yang sudah berdiri sebelum 2006. "Kelompok intoleran ini biasanya mengambil celah dengan mempermasalahkan izin pendirian bangunan rumah ibadah," jelasnya.
 
Catatan ANBTI DIY, tindakan intoleransi selalu terjadi Sabang tahun di Yogyakarta. Tahun 2016 ada sebanyak 21 kasus, 2017 (12 kasus) dan 2018 (sekitar 4 kasus hingga bulan April).
 
(Baca: Sleman Peringkat Teratas Kasus Kekerasan Terhadap Istri di DIY)
 
Ia menegaskan akan terus berupaya sekuat tenaga membantu kelompok minoritas. Tak hanya di Yogyakarta, ia juga terlibat dalam advokasi kasus intoleransi di wilayah Jawa Tengah, Madura, Aceh, hingga Nusa Tenggara Timur.
 
Kini, Agnes masih aktif untuk melakukan aktivitas advokasi untuk kelompok minoritas yang diskriminasi. Ia juga sedang menempuh strata dua di Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta.
 
"Saya ingin mempelajari lebih dalam aturan-aturan hukun untuk membantu kelompok minoritas," pungkasnya.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(SUR)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif