Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Sitti Noor Laila menjelaskan, Perma tersebut bertujuan memberikan pembelajaran bagi penegak hukum agar tidak melakukan penahanan atau membawa ke ranah pengadilan bagi kasus pidana pencurian di bawah nominal Rp2,5 juta.
"Permasalahannya aparat penegak hukum tidak secara konsisten menjalankan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) itu," kata Siti Noor Laila di Yogyakarta, Senin (3/8/2015).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Ia mencontohkan, kasus yang terjadi terkait pelanggaran aturan itu yakni pencurian buah kakao, pencurian ayam, atau kopi tidak selayaknya dilanjutkan hingga persidangan, apalagi sampai dilakukan penahanan terhadap pelakunya. Apabila berdasarkan Perma tersebut, lanjutnya, kasus-kasus dengan kategori tindak pidana ringan (tipiring) itu mestinya bisa selesai secara cepat dan bahkan tanpa melalui persidangan.
"Imbasnya ada tindakan tidak adil. Curi kopi atau ranting kering kebun dipidanakan. Publik akan merasa jauh dari rasa keadilan," ungkapnya.
Noor Laila juga mengatakan, dengan mematuhi Perma itu dapat menjadi sarana Kepolisian menjalankan fungsi pembinaan dengan mengingatkan masyarakat tidak boleh melakukan tindakan kriminal meskipun sedang merasa lapar. "Baru ketika melakukan (pelanggaran) lagi dapat dilakukan penahanan," ucapnya.
Ia berpandangan, hingga saat ini masih ada praktik penindakan kasus tipiring yang tanpa disertai dengan mempertimbangkan Perma yang dihasilkan dari kesepakatan bersama Mahkamah Agung (MA), Polri, Kejaksaan Agung, serta Menteri Hukum dan HAM itu. Selain mengganggu rasa keadilan masyarakat, kondisi tersebut juga kian menambah beban rumah tahanan yang kapasistasnya semakin terbatas.
"Bayangkan satu blok (penjara) isinya ratusan orang yang untuk duduk saja susah. Sehingga jika terjadi gesekan sewaktu-waktu mereka berpotensi mengamuk. Apalagi yang jaga hanya satu atau dua orang," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)