Sejumlah seniman mengikuti Kalahayu Perkawinan Alam Raya di Solo, Jawa Tengah, Minggu (6/3/2016). Acara itu digelar sebagai prosesi dan sesaji budaya para seniman menyambut fenomena gerhana matahari. (Ant/Maulana Surya)
Sejumlah seniman mengikuti Kalahayu Perkawinan Alam Raya di Solo, Jawa Tengah, Minggu (6/3/2016). Acara itu digelar sebagai prosesi dan sesaji budaya para seniman menyambut fenomena gerhana matahari. (Ant/Maulana Surya) (Patricia Vicka)

Mula Buka Mitos Raksasa Menelan Matahari

gerhana matahari total
Patricia Vicka • 07 Maret 2016 20:25
medcom.id, Yogyakarta: Bagi masyarakat Jawa, ada sebuah mitos yang amat populer saat terjadi gerhana Matahari atau Bulan. Mitos tersebut adalah adanya raksasa yang memakan Matahari sehingga bumi menjadi gelap gulita.
 
Demi melihat Matahari raib, warga membuat kegaduhan. Memukul kentongan, menumbukkan alu ke lumpang (alat penumbuk padi), atau benda apapun. Tujuannya, agar raksasa, atawa Butho dalam bahasa Jawa, mengurungkan niat melahap Matahari.
 
Budayawan Jawa Doktor Purwadi menjelaskan, mitos itu berkembang di tanah Jawa saat abad ke 78 Masehi.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, saat pemerintahan Prabu Adisoko, para dewa dan dewi berkumpul di kayangan. Mereka hendak minum Tirta Amerta (air kehidupan) agar sakti mandraguna dan abadi.
 
Tiba-tiba datang raksasa bernama Kala Rahu. Dia yang merebut air kehidupan, dan meminumnya. Batara Surya dan Batara Chandra segera melapor ke Dewa Wisnu.
 
"Dewa Wisnu melepaskan senjata Cakra ke arah Kala Rahu. Cakra terbang mengenai leher Rahu hingga putus. Saat itu, air Tirta Amerta tidak sampai ke tubuh Rahu," tutur Purwadi di Yogyakarta, Senin (7/2/2016).
 
Rahu murka. Dia memburu Batara Surya (Matahari) dan Batara Chandra (Bulan). Rahu memakan keduanya bulat-bulat. Namun karena lehernya sudah putus, dua dewa itu tak berhasil ditelannya.
 
Kejadian di kayangan itu mempengaruhi kehidupan di bumi. Prabu Adisoka yang melihat Dewa Matahari dan Bulan lenyap, memerintahkan masyarakat membuat bunyi-bunyian, salah satunya dengan memukul lesung.
 
"Bunyi gemuruh itu tujuannya agar sang raksasa panik dan memuntahkan kembali kedua dewa tersebut. Sehingga bumi kembali terang," jelas dosen Sastra Jawa Universitas Negeri Yogyakarta ini.
 
Membuat bunyi-bunyian saat gerhana akhirnya menjadi budaya turun temurun di masyarakat Jawa. Sementara, para orangtua melarang anak-anak keluar rumah. Bocah-bocah bersembunyi di kolong tempat tidur sambil bernyanyi mendendangkan lagu-lagu tradisional.
 
Seiring berkembangnya teknologi dan informasi, tradisi tersebut hampir ditelan zaman. Hanya beberapa orangtua di pelosok Jawa masih yang masih percaya dan membuat bebunyian agar Butho memuntahkan Matahari.
 
"Pendidikan membuat orang Jawa tidak lagi melakukan tradisi itu," timpal Antropolog Universitas Gadjah Mada Lono Simatupang.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(SAN)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif