Gedung bekas kantor Harian De Lokomotief di Semarang. (Foto: MTVN/Dhana)
Gedung bekas kantor Harian De Lokomotief di Semarang. (Foto: MTVN/Dhana) (Dhana Kencana)

Gedung Harian de Locomotief Menunggu Hancur

bangunan bersejarah
Dhana Kencana • 23 Desember 2015 09:36
medcom.id, Semarang: Sebuah bangunan bekas kantor redaksi harian De Locomotief yang berada di Jalan Kepodang, Semarang -dulu bernama Van Hogendorspraat- hancur. Diduga bangunan sengaja dirobohkan oleh pemilik. 
 
Hancurnya bangunan bekas kantor redaksi De Locomotief dinilai merupakan kehilangan besar tidak hanya bagi Semarang, namun juga bagi sejarah Indonesia.
 
Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi Ahmad mengaku prihatin melihat kondisi bangunan saat ini. Menurutnya, gedung de Locomotief layak masuk dalam kategori bangunan bersejarah. 

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Sudah selayaknya dijadikan status bangunan bersejarah," ujar Rukardi, Rabu (23/12/2015).
 
Rukardi menilai pemerintah kota Semarang salah melakukan dokumentasi gedung tua yang berakibat pada sejumlah gedung yang sudah uzur dibiarkan terbengkalai. Padahal, keberadaan gedung de Locomotief dinilainya sama penting dengan keberadaan gedung-gedung tua bersejarah lainnya.
 
"Sayang, gedung itu tidak mendapat perhatian pemerintah karena salah identifikasi gedung tua. Soalnya dari awal gedung ini tidak terdokumentasikan oleh Pemerintah Kota Semarang," katanya.
 
Pantauan di lokasi, bangunan yang roboh bernomor 20. Sementara bangunan bernomor 22 yang berada di sebelahnya dan masih menjadi bagian dari kantor redaksi koran juga dalam kondisi rusak.
 
Seorang tukang parkir, Sutono, menuturkan, bangunan eks kantor De Locomotief sudah roboh sejak tiga pekan lalu. 
 
“Gedung itu roboh setelah si pemilik bangunan datang untuk membongkar balok-balok penopang lantai II bangunan,” kata Sutono.
 
Untuk diketahui, De Locomotief merupakan surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang dan dikenal sebagai corongnya suara kaum etis, yang mendukung politik balas budi pemerintah kolonial kepada masyarakat bumiputera di Hindia Belanda.
 
Surat kabar tersebut terbit perdana pada 1851, yang kala itu bernama Semarangsch Nieuws en Advertentieblad hingga berubah nama menjadi De Locomotief pada 1863. Nama De Locomotief sendiri dipilih karena pada saat bersamaan masyarakat tengah ramai membicarakan rencana pembangunan jalur kereta api, yang merupakan moda transportasi baru di era Hindia Belanda.
 
Politik etis menjadi haluan utama surat kabar De Locomotief. Pemimpin redaksinya, Pieter Brooshooft bersama C Th Van Deventer, yang juga dikenal sebagai pencetus politik etis, punya andil cukup besar dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat bumiputera saat itu. Dalam perjalanannya, De Locomotief turut memengaruhi sikap dan pemikiran RA Kartini karena putri Bupati Jepara yang ditahbiskan sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia, sangat gemar membaca korban tersebut.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(MEL)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif