Ketua panitia acara, Dwi Marianto, mengatakan acara tersebut bukan gila sebagai gangguan jiwa. Acara itu, kata dia, menjadi bentuk seseorang untuk mengungkapkan rasa kekaguman kepada yang lain dalam bentuk seni.
"Semua orang dengan latar belakang apapun boleh ikut. Mereka dibebaskan menjadi sesuatu yang paling dimimpi-mimpikan," kata Dwi saat dihubungi Metrotvnews.com, Jumat (15/4/2016).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Menurut dia, acara itu menjadi wadah pas untuk meluapkan impian, seperti ingin menjadi intelektual, pejabat, ataupun seniman. Panitia membebaskan kostum yang hendak peserta gunakan. Di acara itu, peserta dipersilakan “menggila” sesuai apa yang dikehendaki.
“Dengan tema “Ekologi Zaman Edan”, peserta kami persilakan sekreatif mungkin dengan harapan bisa menjaga keseimbangan serta kelestarian alam,” kata dia.
Acara ini ketujuh kalinya dilaksanakan di Yogyakarta. Kali ini, acara akan dihadiri sejumlah seniman luar negeri, seperti seniman asal Denmark dan Norwegia. Para seniman akan mendapat giliran berorasi dengan sajak ataupun puisi.
“Dengan sehari menggila, kami ingin semua peserta keluar dari rutinitas untuk mendapatkan energi baru. Kami juga menyediakan stan makanan organik yang bebas pengawet. Ada juga workshop membatik tanpa menggunakan malam,” kata dia.
Yang menjadi catatan, siapa pun yang hendak ikut harus hati-hati jika “menggila”. Karena, panitia tak akan bertanggung jawab kalau terjadi hal di luar dugaan. "Panitia Tidak Bertanggung Jawab Bila Peserta Kebablasan", demikian bunyi poster acara itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)