Asisten Intelijen Kejati DIY, Joko Purwanto, mengatakan, buku setebal 528 halaman yang ditulis 32 orang itu disertai ilustrasi provokatif perihal pembantaian yang terjadi sekitar tahun 1965. "Arahnya untuk mempengaruhi anak-anak muda soal ajaran itu (komunisme)," kata Joko, Jumat, (13/5/2016).
Joko mengungkapkan, buku yang dibeli seharga Rp200 ribu keluaran penerbit Ultimus tersebut tak hanya dijual melalui toko buku. Namun juga secara daring.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Menurutnya, penjual sudah kehabisan stok dan menduga buku itu sudah beredar di masyarakat. "Penjual buku itu menyediakan pemesanan," kata dia.
Bagi para penjual buku aliran kiri, lanjut Joko, tak akan ada langkah hukum dari aparat. Namun, kejaksaan memberikan peringatan agar tidak menjual buku serupa kembali. Sementara, buku yang telah disita tersebut akan dilaporkan ke Kejaksaan Agung.
"Nanti akan dianalisa. Sudah ada tim analisa di sana," ujarnya.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DIY, Akhmad Fikri AF menyayangkan tindakan kejaksaan itu. Fikri mengaku menentang adanya tindakan yang memberangus buku seperti itu. Menurutnya, ajaran kiri, dalam hal ini komunisme, sudah terkubur sejak runtuhnya negara tempat lahirnya paham itu.
"Tidak ada pengaruhnya jika buku-buku itu beredar. Apalagi pemerintah tak peduli dengan perbukuan di Indonesia," kata Fikri.
Ia menambahkan, aparat di Yogyakarta juga telah melakukan melakukan razia di toko buku dan penerbit buku kiri. Di antaranya Narasi dan Resist. Fikri menegaskan, upaya pemberantasan buku oleh aparat penegak hukum sangat tidak relevan dilakukan saat ini. Tulisan mengenai gerakan kiri, kata dia, begitu mudah dijumpai di internet.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)