Hal itu tampak dalam aksi masa Serikat Perjuangan Demokrasi yang pro-LGBT yang bersamaan dengan penolakan LGBT oleh Forum Umat Islam (FUI) DIY, Selasa, 23 Februari. Tindak kekerasan akan tak terelakkan apabila kedua kelompok itu bersua.
Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Tri Guntur Narwaya, mengungkapkan negara memiliki peran penting dalam mencari jalan dalam masalah ini. Namun, yang terjadi sejauh ini, justru ada sejumlah pejabat negara yang terkadang membuat pernyataan meminggirkan kelompok LGBT.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Dalam sejumlah kasus diskriminasi di Indonesia, negara masih menjadi aktor peminggiran kelompok tertentu," kata Guntur kepada Metrotvnews.com, Rabu (24/2/2016).
Guntur menjelaskan ada aspek kedalaman yang menghambat dalam menyikapi LGBT, yakni dengan menyertakan kata 'tidak' dan 'harus' saat membahasnya. Ia menilai, setuju atau tidak dengan sesuatu hal menjadi hal yang wajar. Akan tetapi, sikap yang mesti diambil harus bisa menghargai dengan apa yang menjadi pilihan pihak lain.
"Mereka (LGBT) ini ada sebelum kemerdekaan. Yang perlu dilakukan, mendiskusikannya sejauh dalam koridor demokrasi. Dulu, awal kemerdekaan ada berbagai perbedaan, tapi itu bisa terselesaikan karena tetap dalam koridor demokrasi," ujarnya.
Guntur menegaskan, sebagai warga negara, LGBT juga memiliki hak untuk menentukan pilihan diri. Yang perlu dilakukan, kata dia, meletakkan hak tersebut pada personal manusia yang bermartabat.
"Orientasi seksual ini penting untuk dihargai. Mereka sudah menjadi kelompok sasaran kekerasan, stigmatisasi, dan diskriminasi. Padahal, kelompok juga memiliki bapak dan ibu yang melahirkan mereka," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)