"Salah satu fokusnya pada pemenuhan hak perempuan. Di UU itu dijamin soal kekerasan seksual, eksploitasi, sampai kesehatan reproduksi. Kadang ada perempuan penyandang disabilitas yang mengalami strerilisasi paksa," kata Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan Indriyati Suparno, di Yogyakarta, Kamis (2/6/2016).
Indriyati menerangkan UU Penyandang Disabilitas tersebut menjamin hak hidup dari para penyandang diabilitas, seperti menikah dan memiliki anak. Menurutnya, aturan itu harus menjadi jalan memotong pelanggaran hak penyandang disabilitas yang selama ini terjadi.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Dalam mengimplementasikan UU itu, ia menilai pemerintah harus memilih aspek yang mendesak dan strategis. Misalnya, dalam hal peradilan.
"Hukum acara kita tidak banyak mengakomodasi disabilitas, baik sebagai korban atau pelaku. Peradilan masih netral gender maupun disabilitas," kata dia.
Selain peradilan, hal lain yang mendesak bagi penyandang disabilitas yakni hak kesehatan. Menurutnya, pelayanan kesehatan yang selama ini sudah berjalan belum memberikan pelayanan khusus bagi penyandang disabilitas, baik itu secara akses maupun pelayanan.
Ia menambahkan, aplikasi aturan itu memang masih menghadapi tantangan besar. Salah satu tantangan beratnya, membangun prespektif publik terhadap disabilitas.
Salah satu instansi yang berkewajiban memenuhinya adalah institusi pendidikan. Selain pemahaman, institusi tersebut juga harus memiliki akomodasi layak bagi disabilitas serta memiliki unit pelayanan.
"Ini memang enggak gampang secara kebijakan, sumber daya, dan operasionalisasinya. Tidak banyak yang tertarik dan memiliki pemahaman terhadap disabilitas, apalagi disabilitas bagi perempuan dan anak," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(MEL)