Acara festival itu dihadiri oleh Bupati Gunungkidul, Badingah. Bupati secara simbolis memotong sompil berukuran besar yang kemudian dinikmati bersama.
"Ide dan kreativitas yang berasal dari masyarakat patut diapresiasi. Apalagi dananya berasal dari masyarakat sendiri, acara ini luar biasa ikut mendongkrak pariwisata," ucap Badingah.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Salah seorang pembuat sompil, Supatmijah, 58, mengatakan, sompil merupakan makanan yang terbuat dari beras dan dikemas dengan daun pisang berbentuk segitiga. Setelah dikemas, kemudian dikukus maksimal hingga lima jam. Nama makanan, kata dia, diambil dari siput di sungai berbentuk segitiga yang memiliki nama sompil.
"Waktu masih kecil saya diajari nenek. Jadi saya sudah generasi ke tiga yang memasak sompil," katanya saat ditemui di sela acara festival itu.
Menurutnya, pada 1960-an, sompil menjadi makanan yang kerap dibeli warga saat berangkat ke pasar. Saat itu, warga memakan sompil disertai sayur cabe dan lauk tahu ataupun tempe.
"Dulu itu, ini jajan murah bikin kenyang. Sekitar tahun 1970-an itu harganya kurang dari Rp100," kisahnya.
Ia melihat, masyarakat saat ini sudah banyak yang tidak mengetahui makanan itu. Kalau pun ada, makanan tradisional tersebut hanya dimasak saat acara tertentu. Sompil kemudian juga disajikan bersama sate, opor ayam, atau makanan lainnya.
"Sejak wisata di Gunungkidul meningkat, saya mulai jualan sejak dua tahun lalu," ungkapnya.
Dalam festival 1001 Bungkus Sompil itu, pengunjung bisa terlibat di dalamnya dengan berkontribusi Rp5.000. Setelah itu, pengunjung diberi sompil beserta lauk. Misalnya, sayur cabai, tahu dan tempe bacem, serta kerupuk.
Dalam acara itu pula, warga setempat mengenalkan potensi wisata Kecamatan Patuk, seperti hasil olahan cokelat dan bunga Krisan yang bersemi di Gunung Api Purba Nglanggeran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)