Sebab, putusan MA No 3249 K/Pdt/2012 telah memenangkan gugatan Suharni, ahli waris Wiryodiningrat, sebagai pemilik lahan Taman Sriwedari.
Putusan tersebut ditindaklanjuti Pengadilan Negeri Surakarta dengan meminta Pemkot Surakarta mengosongkan Museum Radya Pustaka, dalam jangka waktu delapan hari setelah surat teguran dilayangkan. Bila eksekusi benar berjalan, museum yang didirikan Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada 18 Oktober 1890, itu bakal tinggal kenangan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Metrotvnews.com coba menelusuri jejak kepemilikan dari lahan Taman Sriwedari. Berdasar informasi yang dihimpun, kawasan tersebut dibeli keraton melalui KRMT Wiryodiningrat dari seorang Belanda bernama Johanes Buselaar.
Dilihat dari sejarahnya, Taman Sriwedari atau dulunya bernama Kebon Rojo (kebun raja) dipergunakan Keraton Surakarta untuk memulihkan citra politik. Pada masa kolonial, citra keraton di era Pakubuwono X mulai redup. Untuk itu, keraton perlu membangun ruang publik sebagai sarana hiburan sekaligus perbaikan citra politik.
“Kebon Rojo atau taman raja. Pakubuwono X membangun kawasan itu sebagai ruang publik dengan tujuan memberikan hiburan dan memulihkan citra politik yang diredupkan oleh pemerintah kolonial Belanda,” ungkap Heri Priyatmoko Sejarawan sekaligus dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (11/09/2015).
Tetapi, pada saat lahirnya UU Pokok Agraria tanggal 24 September 1960, tanah itu akhirnya dikuasai oleh negara. Ahli waris KRMT Wiryodiningrat menggugat pemerintah pada tahun 1970-an.
Berdasarkan putusan pengadilan sekitar tahun 1980, pemerintah harus membayar ganti-rugi atas penggunaan lahan Taman Sriwedari selama bertahun-tahun.
Namun, pada tahun 1987 dan 1991, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan Hak Pakai atas nama Pemkot Surakarta. Ahli waris pun kembali menggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengadilan meminta BPN membatalkan Hak Pakai.
Bagi Pemkot, pembatalan hak pakai berarti lahan Sriwedari kembali menjadi tanah negara. Sedangkan ahli waris menganggap pembatalan tersebut berarti mengakui kepemilikan mereka atas Sriwedari.
Karena Pemkot tetap memanfaatkan Sriwedari, ahli waris kembali mengajukan gugatan untuk mengosongkan kawasan tersebut. Termasuk, Museum Radya Pustaka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)