Ketua Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Harry Supriyono, mengatakan, kalau gugatan itu sampai dikabulkan Mahkamah Konstitusi, dampaknya akan luar biasa.
Ia mencontohkan, kasus perusakan lingkungan hidup akibat lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut dia, tanpa harus pembuktian, penderitaan korban sudah terang benderang.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Ini bisa membuat hukum tak adil. Apakah korban (yang sudah terlihat) harus dibuktikan? Ini dampaknya bisa merusakan tatanan," kata Harry di Kantor Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Rabu, 31 Mei 2017.
Harry menilai, penggugat UU tampak tak paham materi yang digugat. Mengingat, dampak pengabulan gugatan itu bisa memperlemah penegakan hukum.
Menurut dia, UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup saat ini sudah cukup bagus. Ia menyebut, pasal Strict Liability yang berlaku puluhan tahun lalu telah terlihat dampaknya pada 2001.
Saat itu, lanjutnya, ada 5.000 barel minyak yang tumpah di perairan Cilacap, Jawa Tengah oleh kapal King Fisher. Kemudian, pemerintah Indonesia mewajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp19,45 miliar.
Totok Dwi Diantoro, dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM, mengatakan upaya gugatan UU itu tak lebih sebagai langkah pelemahan hukum. Menurut Totok, gugatan itu berangkat dari fenomena eksplotasi sumber daya alam yang besar dalam beberapa tahun belakangan.
"Sekarang kita sedang berhadapan dengan pelemahan penegakan hukum lingkungan hidup," katanya.
Dosen Fakultas Hukum UGM yang lain, Wahyu Yun Santosa, menambahkan, ada materi krusial materi yang perlu diberikan dalam konteks UU itu. Menurutnya, perlu melihat unsur kearifan lokal dalam hal pembakaran lahan dengan membakar lahan.
"Misalnya ada pembakaran hutan yang dilakukan masyarakat adat lakukan dan sudah dibatasi. Di Kalimantan, masyarakat menancapkan mandau dan tiba-tiba bisa membatasi penyebaran api saat membakar lahan. Kita ingin hak masyarakat tetap dijaga," katanya.
APKI dan GAPKI menggugat UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu pasal yang digugat adalah Pasal 88 atau dikenal dengan pasal 'strict liability'.
Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan."
Mereka hendak mengubah pasal tersebut menjadi, "Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh orang yang bersangkutan."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)