"Syaratnya (atheis untuk memiliki hak hidup) adalah ketulusan antarsesama. Ketulusan itu mengandung sikap, berbeda dalam perbedaan, dan berbeda dalam persaudaraan. Asal kita saling mengerti dan memahami," katanya dalam pidato budaya dalam peringatan bertajuk, Indonesia 70 Tahun, Kemerdekaan, Demokrasi, dan Partisipasi Masyarakat di Taman Beringin Bung Karno, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (21/8/2015) malam.
Buya, sebutan Ahmad Syafii Maarif mengaku pernah berbincang dengan pendeta dari Manado terkait hal itu di suatu ketika. Dalam perbincangan itu, Buya ditanya perihal bagaimana menjaga kerukunan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Tulus," begitu Buya memberikan jawaban.
Buya juga mengungkapkan tidak begitu dekat dengan mereka yang berbeda keyakinan. Namun, ia tetap merasa bisa cukup dekat dengan mereka.
Menurutnya, Indonesia bisa menjadi contoh bagi internasional dalam hal toleransi. Meski demikian, cita-cita kedamaian di Indonesia harus terus menerus diperjuangkan.
"Egoisme masyarakat Indonesia itu masih terlihat begitu rupa, termasuk egois sejarah yang menyebabkan persaudaraan antarmanusia itu rancu. Kita perlu terus memupuk sikap saling kerja sama, saling membantu, dan menghormati. Damai itu aman dan nyaman," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)