"Menjadi tunanetra itu bukan kemauan saya. Jadi kenapa ada diskriminasi," ujar Aria Indrawati, salah seorang tunanetra saat ditemui dalam acara Parade Tongkat Putih di Lapangan Kotabarat, Solo, Selasa (26/02/2016).
Aria menuturkan, tidak dapat melihat dengan jelas sejak lahir. Bahkan, mulanya dia berpikir semua orang sama sepertinya. Sempat bersekolah di Sekolah Luar Biasa, Aria disarankan untuk bersekolah di sekolah umum karena kecerdasannya.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Diskriminasi mulai saya rasakan saat SMA. Saya dianggap menyusahkan. Pada diri sendiri saya berjanji saya akan menjadi juara dan membuat guru-guru menyalami saya," ungkapnya. Hal tersebut terjadi. Saat kelulusan, Aria menjadi juara umum kedua di sekolahnya.
Namun, kembali Aria mengalami patah hati. Begitu sebut Aria saat dirinya mengikuti tes di perguruan tinggi. "Saya mengikuti prosedur tes di perguruan tinggi negeri ternama di Semarang. Kata kakak saya sebenarnya saya dinyatakan lulus tapi nama saya tidak tercantum di sana," kata dia.
Hampir saja Aria patah arang dan tak ingin kuliah, sebelum akhirnya dokter mata dan keluarga berhasil memompa semangatnya. Lantas, dia kuliah di fakultas hukum perguruan tinggi swasta di Semarang.
Prestasi gemilang terus ditorehkannya, hingga ia sempat menjadi dosen kriminologi di Universitas 17 Agustus. Rupanya, prestasi Aria terpantau sebuah yayasan di Ibu Kota. Dia diminta untuk menjadi tenaga hubungan masyarakat di Jakarta. Aria pun hijrah.
Tahun 1994, Aria bergabung dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Di organisasi itu, Aria berhasil menjadi perempuan pertama yang menjadi Ketua Umum Pertuni pada tahun 2014.
Di organisasi itu, Aria ingin meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan tunanetra. Pasalnya, masih banyak tunanetra dalam keadaan prasejahtera. Gambarannya, kata dia, dari 100 tunanetra, hanya empat yang mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
"Ada apa dengan negara saya ini," kata dia.
Dia berharap agar negara dan bangsa tak memandang rendah penyandang tunanetra. Pun demikian dengan teman-teman Aria. Dia berharap keterbatasan tak jadi alasan untuk putus asa.
"Kepada pemerintah, kami ingin menunjukkan ini lho ada 1,5 persen warga Anda yang tunanetra. Berdayakanlah, bekalilah dengan keterampilan. Bukan hanya diajari menjadi tukang pijit," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)