Para petani yang telah menggarap tanah sejak puluhan tahun lalu akhirnya kehilangan hak. (Baca: Petani di Brebes Diharuskan Bayar Rp10 Miliar ke Perhutani)
“Kami tahu tanah itu dulunya lepe-lepe, bukan masuk wilayah Perhutani. Kami punya data dan buktinya. Warga juga sudah membayar pajak, buktinya ada SPPT-nya,” kata Wakil Ketua GNPK Brebes, Slamet Abdul Dhofir, saat dihubungi Metrotvnews.com, Jumat (6/11/2015).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Ia sangat menyayangkan, saat mediasi antara Perhutani dan pemerintah, tidak ada satu perwakilan wargapun yang diikutsertakan. Malah yang hadir pengacara negara (kejaksaan). Hal itu dinilai mengesamping kepentingan warga penggarap.
“Warga hanya diberi angin segar saja. Tapi kenyataannya pemerintah lepas tangan,” ujarnya.
Akibatnya, sengketa lahan itu harus berakhir di meja pengadilan. KPH Perhutani Balapulang, Kabupaten Tegal menggugat warga senilai Rp21 miliar karena dianggap telah menguasai lahan seluas 131 hektare sejak tahun 1988 hingga 2015.
Dalam sidang putusan gugatan perdata nomor perkara 94/PID.B/2015.PN BBS, Hakim Ketua, Teguh Alvianto dan didampingi dua anggota Iwan Gunawan dan Tri Mulyanto, memutuskan 30 petani tergugat harus membayar Rp10 miliar. Tergugat juga diwajibkan membayar biaya pokok persidangan sebesar Rp10 juta.
Namun, meski ada keputusan pengadilan, warga akan tetap menggarap di lahan tersebut. Karena mereka menggantungkan hidupnya dari sana.
Warga juga akan memuntut pemerintah terkait pajak yang telah dibayarkan melalui SPPT sejak tahun 1988 lalu. “Kami sudah membayar pajak sejak puluhan tahun lalu, karena itu kami tidak ingin kehilangan pekerjaan,” ujar Acong, warga Desa Bleberan, Kecamatan Songgom, yang ikut menggarap lahan sengketa di Kalenrembet. (san)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)