Diskusi dan sosialisasi empat pilar kebangsaan di Kota Solo Jawa Tengah bertajuk 'Mewaspadai Gerakan Anti Pancasila', Kamis (12/5/2016). (Metrotvnews.com/Pythag Kurniati)
Diskusi dan sosialisasi empat pilar kebangsaan di Kota Solo Jawa Tengah bertajuk 'Mewaspadai Gerakan Anti Pancasila', Kamis (12/5/2016). (Metrotvnews.com/Pythag Kurniati) (Pythag Kurniati)

Pemerintah Dinilai Ambivalen Sikapi Palu Arit

komunisme
Pythag Kurniati • 12 Mei 2016 21:07
medcom.id, Solo: Belakangan muncul simbol-simbol palu arit di beberapa daerah di Indonesia. Banyak yang yang khawatir paham komunisme akan bangkit lagi, tak sedikit pula yang bilang itu ketakutan yang tak mendasar.
 
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aria Bima bilang, kemunculan simbol belum tentu menunjukkan bangkitnya partai komunis dan ideologinya yang menyimpang dari Pancasila. “Saya tidak begitu yakin bahwa logo-logo yang muncul ini adalah gerakan PKI,” ungkapnya.
 
Kesangsian Aria Bima ia ungkapkan di depan ratusan peserta diskusi Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan bertajuk Mewaspadai Gerakan Anti Pancasila di Pose In Hotel Solo, Kamis, 12 Mei 2016.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Aria menambahkan, sejauh yang ia ketahui, partai komunis tidak menggunakan cara-cara tersebut. Namun lebih pada pengkaderan dan sistem sel secara sembunyi-sembunyi.
 
“Jangan sampai ini justru akan memunculkan saling mencurigai dan menciptakan ketegangan. Jangan memakai gaya represif Orde Baru,” imbuh dia.
 
Narasumber lain, Ketua Lajnah Tanfiziyah Majelis Mujahidin Pusat, Irfan S Awwas menganggap pemerintah dan beberapa pihak berwenang menangani permasalahan ini justru tekesan ambivalen. 
 
Irfan mencontohkan fenomena di Palembang, misalnya. Banyak lokasi di beberapa kecamatan yang ditempeli stiker berlogo palu arit secara misterius. TNI dan Polri di Pelembang, imbuhnya, dibuat pusing. Belum lagi kemunculan kaos berlogo palu arit di sejumlah daerah. 
 
Namun kemudian ada beberapa tokoh yang justru mengatakan untuk tidak terlalu reaktif sementara petinggi negara lainnya ada yang tegas melarang. "Pemerintah jadi terkesan ambivalen,” ungkap dia.
 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo, Handoyo Leksono menilai pemerintah kurang memahami persoalan HAM. Dia juga menilai pemerintahan Jokowi terkesan tergesa-gesa dengan keinginan langsung menyelesaikan pelanggaran HAM pada saat peristiwa politik 1965. 
 
“Pejabat negara perlu meningkatkan kembali pemahaman mengenai Pancasila, globalisasi, HAM. Serta terus menyosialisasikan empat pilar berbangsa dan bernegara,” tutup dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(SAN)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif