Dia mempersoalkan pengajuan nama Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sebab, dalam sabdaraja, Sultan mengubah kata 'buwono' menjadi 'bawono' dalam gelarnya. (Baca: Zaman Berganti, Alasan Sri Sultan Ganti Gelarnya)
Prabukusumo mengatakan, mestinya Sultan menggunakan satu nama resmi sebagai pejabat publik. Ia khawatir adanya dua gelar nama akan memunculkan konflik sosial di masyarakat. Sebab Keraton Yogyakarta tidak mengenal dua gelar nama.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Harusnya satu nama saja. Masyarakat taunya nama gubernur dan raja itu Hamengku Buwono. Kalau dua nama dipakai maka akan menimbulkan polemik di masyarakat," tuturnya di Hotel Inna Garuda Yogyakarta, Selasa, 18 Juli 2017.
Sejak mengubah nama, Sri Sultan menggunakan dua gelar. 'Buwono' dipakai untuk struktur pemerintahan di negara Indonesia. Sementara, 'bawono' dipakai untuk internal Keraton.
Baca: Putri Keraton Yogyakarta Serahkan Berkas Penetapan Gubernur
Sultan tak bisa mengubah nama barunya di dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia. Sebab Undang-Undang Keistimewaan sudah menulis bahwa Gubernur DIY adalah raja Keraton yang bertahta yakni Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sri Sultan menanggapi protes ini dengan santai. Menurutnya kedua gelar nama tersebut memiliki fungsi penggunaan yang berbeda. Ia juga yakin Pansus penetapan gubernur dan wagub tidak memiliki wewenang untuk mengurusi gelar yang ia sandang.
"Saya ndak mau ambil pusing. Verifikasi Pansus ditunjukkan hanya untuk persyaratan gubernur. Tidak ada urusan dengan nama ataupun gelar yang saya sandang," kata Sultan.
Sri Sultan HB X sudah mengumpulkan berkas-berkas persyaratan kepada Pansus DPRD DIY kemarin. Berkas persyaratan diserahkan oleh putri Mahkota DIY GKR Mangkubumi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)