"Acara ini bukan lomba, tetapi parade. Tidak ada kejuaraan. Yang ada hanya apresiasi bagi setiap peserta," kata Ketua Panitia Parade Gamelan Anak 2015, Elisabeth Desiana Mayasari, Minggu (25/10/2015).
Mayasari menjelaskan acara parade gamelan itu sebagai langkah mengajak anak-anak mengakrabkan diri dengan kebudayaan lokal. Sebab, selain bermain gamelan, siswa SD itu juga berkeliling kampung untuk menikmati jajanan dan permainan tradisional. Parade gamelan tersebut juga diikuti beberapa anak ekspatriat yang bersekolah di Yogyakarta.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Jika biasanya anak-anak "diteror" perangkat digital seperti smartphone, di parade gamelan ini, seharian anak-anak "diteror" kebudayaan," ujarnya.
Salah seorang pemrakarsa Parade Gamelan Anak, Gregorius Budi Subanar S.J., mengatakan acara yang diadakan tersebut berbeda dengan festival gamelan dunia yang digelar Malaysia. Di Malaysia, kata dia, festival diikuti peserta orang-orang dewasa. "Kita punya tanah, kita juga punya bibit. Maka, ini yang main gamelan anak-anak," katanya.
Baginya, budaya bukan sekadar bagaimana bangsa mengambil langkah untuk melestarikan. Lebih dari itu, bangsa harus bisa mengembangkan budaya yang dimiliki agar senantiasa hidup hingga masa mendatang.
Pria yang akrab dipanggil Romo Banar ini menambahkan, untuk mengembangkan kecintaan kepada budaya sendiri, anak-anak perlu diarahkan untuk bisa menemukan rasa, kebersamaan, serta empati. "Dengan mencintai kebudayaan lokal, ke depan mereka akan mampu berhadapan dengan beragam budaya kontemporer dan budaya universal," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)