Sejumlah sesaji seperti buah-buahan, daging dan aneka kue diletakkan di atas altar. Pada bagian atas sesaji ditancapkan bendera bertuliskan nama leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Selanjutnya umat Konghucu pun khusyuk mengikuti prosesi upacara King Hoo Ping dan memanjatkan doa untuk para leluhur.
Rohaniawan Khonghucu Adjie Chandra mengungkapkan umat Konghucu memiliki kewajiban sembahyang kepada leluhur minimal tiga kali dalam satu tahun.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Pertama menjelang imlek, kemudian pada bulan April dan ketiga pada bulan tujuh imlek atau dalam bahasa Tionghoa dikenal Jit Gwe. Upacara pada tanggal 15 bulan tujuh ini disebut King Hoo Ping atau sembahyang rebutan,” ungkap Adjie, Minggu (28/08/2016).
Kata ‘king’, lanjut Adjie, berarti menghormati sedangkan ‘hoo ping’ berarti teman. Adjie mengungkapkan upacara ini didasarkan pada keyakinan bahwa pada bulan tujuh imlek pintu akhirat dibuka dan roh-roh orang yang telah meninggal dunia dipersilakan turun ke bumi.
"Selama satu bulan keluarga yang di dunia wajib menjamu mereka. Sementara di akhir bulan tujuh imlek, roh sudah harus kembali, maka kami umat Konghucu mengadakan upacara ini untuk mengantar mereka kembali ke akhirat," papar dia.
King Hoo Ping juga disebut sembahyang rebutan sebab roh yang turun ke bumi diperkirakan jauh lebih banyak dari roh yang turun ke bumi. Upacara ini diakhiri dengan membakar replika kapal sebagai simbol pelepasan kembali roh leluhur dari bumi menuju akhirat.
"Pada saat pembakaran kapal semua sesaji diturunkan, kapal diisi uang-uangan kertas dan nama-nama mereka yang disembahyangkan kemudian dibakar," tuturnya.
Tradisi ini telah puluhan tahun dilaksanakan umat Konghucu di Kota Solo, Jawa Tengah. King Hoo Ping menjadi sebuah penghormatan umat Konghucu kepada leluhur dan kerabat, sekalipun leluhur mereka tidak lagi ada di dunia. Sekaligus sebagai pengingat umat yang masih hidup di dunia untuk selalu melakukan kebajikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(LDS)