Ketua KPID DIY, Sapardiyono (berdiri) dan sejumlah pemateri dalam diskusi RUU Penyiaran. (MTVN-Ahmad Mustaqim)
Ketua KPID DIY, Sapardiyono (berdiri) dan sejumlah pemateri dalam diskusi RUU Penyiaran. (MTVN-Ahmad Mustaqim) (Ahmad Mustaqim)

RUU Penyiaran Harus Akomodasi Aspek Politik Ekonomi

lembaga penyiaran
Ahmad Mustaqim • 23 Mei 2017 17:21
medcom.id, Sleman: Sejumlah elemen mendorong agar pengesahan Rancangan Undang-Undang Penyiaran menjadi UU bisa mengakomodasi hak publik. Lebih penting lagi, tak boleh menghilangkan peran lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).
 
Ketua KPID Daerah Istimewa Yogyakarta Sapardiyono mengatakan RUU Penyiaran yang masuk Program Legislasi Nasional sejak 2015 telah mengalami beberapa kali perubahan draf. Mulai dari September 2015, Februari dan Agustus 2016, serta Februari 2017.
 
"Tapi meski UU itu kepentingan publik, saat draf RUU Penyiaran diketahui masyarakat malah ada anggota DPR yang menyebut kebocoran," kata Sapardiyono dalam diskusi tentang RUU Penyiaran di Hotel Sahid Jaya Jalan Seturan Sleman, Yogyakarta pada Selasa, 23 Mei 2017.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Ada sejumlah kelemahan dalam draf RUU Penyiaran, termasuk di draf yang muncul pada 2016. Salah satu kelemahan draf RUU Penyiaran tahun 2016 yakni menafikan peran KPID dalam penyiaran. Dalam draf itu KPID hanya diberi kewenangan mengawasi siaran.
 
Bagi Sapardiyono, hal itu menjadi kemunduran karena KPID tak diberi kewenangan mengawasi regulasi di daerah. Menurutnya, jika KPID diberi rekomendasi siaran semestinya juga memiliki wewenang dalam merekomendasikan konten siaran. Mengingat, ada sejumlah stasiun televisi di daerah.
 
"Ada juga pasal di RUU itu yang menyatakan KPI di daerah dapat dibentuk. Ini menjadi bentuk pelemahan KPID," ungkapnya.
 
Meski demikian, Sapardiyono berujar draf RUU Penyiaran versi Februari 2017 sudah lebih baik. Ia mengatakan sudah ada sejumlah perbaikan yang bisa mendorong penyiaran meski tak semua.
 
Anggota Majelis Pertimbangan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bambang Muryanto mengatakan RUU Penyiaran harusnya tak sebatas mengatur masalah frekuensi milik publik. Pembahasan RUU Penyiaran harus pula melihat aspek politik ekonomi yang telah masuk bebas di ranah penyiaran.
 
Bahkan, Bambang menyebut masuknya modal swasta telah meliberalisasi penyiaran hingga mengeksploitasi jurnalis yang melakukan peliputan. Sebab, ada hasil liputan jurnalis televisi yang tayang di tiga sampai lima media yang masih satu grup perusahaan.
 
"Tapi jurnalis hanya digaji seharga satu berita yang dibuat. Ini sudah terjadi eksploitasi terhadap jurnalis. Tidak ada kebebasan pers jika (jurnalis) hidup dengan kemiskinan," ujarnya.
 
Selain itu, Bambang juga menyoroti adanya pasal soal pembentukan lembaga penyiaran khusus. Menurutnya, ini bisa mengkhawatirkan karena berpotensi digunakan untuk para bos partai politik membentuk media televisi.
 
Ada berbagai aspek yang belum terpenuhi dalam draf RUU Penyiaran, di antaranya minimnya perhatian media radio dan penyiaran televisi yang selama ini belum memperhatikan hak disabilitas, dalam hal ini tunarungu. Tercatat, televisi milik pemerintah yang sejauh ini akrab dengan disertai bahasa isyarat saat menayangkan berita.
 
"Masyarakat sipil harus memberikan masukan RUU ini sebagai warga negara. KPID bisa menjadi ujung tombak. Kampus harus ikut mengawal, tak hanya mengisi (sumber daya manusia) di industri televisi tapi juga harus ada masukan kritis," kata dia.
 
Direktur Program ADiTV Yogyakarta, Frans Ruffino menambahkan, televisi lokal juga harus mendapat porsi yang baik dalam RUU Penyiaran.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(SAN)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif