Dari 175 petani di Desa Selopamioro, 95 persen menanam tembakau siluk. Banyak yang suka dengan tembakau siluk karena memiliki rasa dan aroma yang khas setelah diolah. Bahkan, varietas tanaman tembakau siluk sudah diakui Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PVTPP) Kementerian Pertanian.
Keman Rimanto, petani tembakau di Dusun Kalidadap I, mengatakan, menanam tembakau sudah menjadi tradisi sejak kakek-nenek moyang mereka. Meskipun menanam tembakau hanya setahun sekali, namun hasilnya cukup untuk hidup.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Kalau kebutuhannya tidak bisa dicukupi dari hasil pertanian, ya biasanya glidhig (bekerja) ke luar (desa)," ujar Keman.

Hamparan ladang di Dusun Kalidadap I, Desa Selopamioro yang akan ditanami tembakau siluk -- MTVN/Ahmad Mustaqim
Pemurnian Tembakau Lokal
Nama Siluk diambil dari salah satu nama daerah di Kecamatan Imogiri. Tembakau lokal yang murni Siluk didapat pada 2012.
"Sebelumnya, petani di sini menanam tembakau dari mana pun asalnya, termasuk dari Temanggung, Jawa tengah," tutur Sugeng, petani lainnya.
Dari tembakau yang ada, kata Sugeng, petani dengan pendampingan pemerintah setempat mulai melakukan pemurnian bibit tembakau lokal pada 2009. Caranya, petani memilih bunga tembakau dengan aturan lima atau enam batang pohon tembakau yang dianggap bagus dengan estimasi per 200 tanaman yang ada.
Dengan langkah itu, petani kemudian membuat pembibitan tanaman tembakau sendiri dari bibit yang sudah dipilih. Proses pembibitan dilakukan di atas lahan seluas 1 meter x 5 meter.
"Kami beri pupuk yang organik. Nanti, bibit usia 40-45 hari bisa kita tanam. Bagi petani yang perlu benih tembakau, kita kasih gratis. Tapi, kalau sudah menjadi bibit, biasanya beli. Harganya Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per 1.000 bibit," ujar Sugeng.

Bibit tembakau siluk -- MTVN/Ahmad Mustaqim
Menurut Sugeng, tembakau siluk memiliki ciri-ciri khusus. Misalnya, memiliki daun yang lebih tebal, tinggi pohon bervariasi, ukuran daun tidak begitu lebar, serta setiap batang memiliki 18 hingga 21 helai daun.
"Kalau tanaman tembakau lain kan daunnya sampai 24 buah," tuturnya.
Perawatan tembakau siluk juga tak terlalu sulit. Namun, tetap dibutuhkan ketelitian memantau setiap jengkal tanaman untuk menentukan kesuburan.
Ketika tanaman memasuki usia 95 hari, petani sudah bisa mulai memanen. Daun tembakau hasil panen itu kemudian diolah mandiri secara manual.
Setelah daun tembakau diolah, lanjut Sugeng, kekhasan tembakau siluk semakin nampak dan terasa. Daun tembakau siluk akan tampak merah kehitaman, berbeda dengan tembakau pada umumnya yang kecoklatan.
Kekhasan lainnya, aroma tembakau siluk mirip seperti makanan tradisional wajik. Layaknya aroma manis gula merah. "Kalau tembakau biasa kan baunya ya bau daun tembakau," ungkap Sugeng.
Terkait rasa, kata Sugeng, tembakau siluk kerap digunakan sebagai penambah rasa bagi perokok. "Menurut pembeli, rasanya mantab. Dulu pernah dipakai pabrik-pabrik besar. Tapi, sekarang lebih banyak dipakai masyarakat lokal," ujarnya.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY Sutarto mengakui, tembakau siluk memang lebih khas dibanding tembakau lainnya dari Sleman, Gunungkidul, atau daerah lain. "Tembakau siluk ini juga jadi bahan baku pembuatan cerutu," kata dia.
Tembakau siluk kini menembus harga Rp80 ribu hingga Rp100 ribu per kilogram. "Sekali panen, rata-rata petani mampu mendapatkan hasil 5-6 ton per hektare," kata Kepala Dinas Pertanian, Pangan, Kelautan, dan Perikanan, Kabupaten Bantul, Pulung Haryadi.
Tradisi di Balik Penanaman Tembakau Siluk
Bukan hanya aroma dan rasanya yang berbeda, ada tradisi unik di balik penanaman tembakau siluk. Petani biasa melakukan ritual sebelum menanam tembakau siluk.
"Saya harus menyiapkan wajik, penganan dari beras ketan yang dicampur santan dan gula jawa. Saya hanya melakukan yang dikatakan simbah (nenek). Katanya sudah sejak zaman dulu," kata Martiah.
Wajik kemudian dibawa ke ladang yang akan ditanami tembakau. Setelah didoakan, sekitar lima potong wajik ditanam di dekat lubang tempat menanam tembakau.
"Sisanya, dimakan bersama tetangga," cerita Martiah.
Martiah mengaku tak tahu makna dari prosesi itu. Ia hanya tahu, yang dilakukannya adalah proses bersatunya tri tunggal dari beras ketan, santan, dan gula jawa.
Uniknya, tembakau siluk memiliki warna merah kehitaman setelah diolah, seperti warna wajik. Baunya pun disebut-sebut menyerupai wajik.
"Kami hanya melanjutkan apa yang dilakukan kakek-nenek dulu," cetus Martiah.
Budayawan Iman Budhi Santosa menilai, yang dilakukan petani tembakau siluk sebatas tradisi. Pada pandangan hidup masyarakat Jawa, tak semua persoalan hidup bisa dinilai dengan materiil.
"Artinya, bahwa itu sebuah doa, kemudian menyapa alam semesta," ujar Iman.
Soal tembakau yang warna dan baunya menyerupai wajik, Iman menganggap hal itu tidak bisa dijelaskan sederhana. Selain ada kearifan lokal, juga terdapat proses kimiawi.
"Ini sebetulnya yang perlu dijelaskan ilmuwan," pungkas Imam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(NIN)