Andreas mengatakan, sebelum di Yogyakarta, penolakan oleh kelompok masyarakat juga terjadi di Kendal, dan Semarang, Jawa Tengah. Kendati sempat terhambat, pameran di dua kota itu tetap berjalan hingga usai.
"Di Yogya ini yang ketiga kali. Meski sempat dibubarkan, kami tetap bisa melanjutkan hingga usai," kata Andreas kepada Metrotvnews.com dalam penutupan pameran di Pusat Studi Ham Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII), di Gang Bakung, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis, 11 Mei 2017.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Pameran seni tentang Wiji Thukul di Pusham UII dari 8-11 Mei 2017, sempat dibubarkan ormas Pemuda Pancasila di hari pertama, dengan tudingan berbau komunis. Ormas Pemuda Pancasila sempat merampas sejumlah karya.
Kejadian itu kemudian telah dilaporkan ke Polda Yogyakarta dan sudah dilakukan olah tempat kejadian perkara. Sementara, rangkaian acara pameran dan diskusi terus dilanjutkan hingga selesai.
Menurut Andreas, sejumlah kota lain yang pernah menjadi lokasi pamerannya berjalan baik-baik saja. Misalnya, di Jakarta, Karawang, Bandung, Solo, dan Trenggalek.
Ia memastikan, pameran 30 lukisan dan puluhan puisi karya Wiji Thukul bakal ia lanjutkan ke kota lain. "Saya akan terus melanjutkan pameran ini, di antaranya di Salatiga, Malang, dan Surabaya," katanya.
Dia berharap panitia di kota-kota tersebut mengantisipasi munculnya tudingan komunis pada pameran tersebut.
Baginya, visualisasi karya yang berkaitan dengan Wiji Thukul ini harus diperjuangkan. Menurut Andreas, Wiji menjadi wakil otentik masyarakat yang dimiskinkan dan dibodohkan oleh sistem pemerintahan. Kendati berasal dari kelas sosial miskin, pendidikan terbatas, Wiji dianggap punya tekad besar untuk belajar.
"Wawasan Wiji tidak kalah dengan lulusan sarjana. Dia juga bisa mengorganisasi buruh hingga berkarya. Wiji berkarya dengan diksi yang sederhana dan mengena. Pesannya bisa dipahami dari berbagai eleman masyarakat," tuturnya.
Sebelum melanjutkan pameran itu, Andreas akan mengambil waktu jeda beberapa saat. Dalam waktu jeda itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan teman di kota lokasi pameran selanjutnya untuk sekaligus mengatur tema diskusi agar relevan.
"Mungkin pameran selanjutnya akan mulai bulan Juni. Kita siapkan panitia siap dengan sejumlah risiko andai melanjutkan pameran," katanya.
Akademisi miskin solidaritas
Direktur Pusham UII, Eko Riyadi menyatakan solidaritas dukungan kebebasan berekspresi sangat minim di Yogyakarta. Ia mencontohkan, dari 780 dosen di UII dan 80 dosen di Fakultas Hukum UII, hanya seorang dosen yang menelepon dan memberikan ungkapan simpatis atas pembubaran pameran seni di Pusham.
"Hanya satu orang (dosen UII) yang menghubungi menghubungi saya, Anang Zubaidy (seorang dosen Fakultas Hukum UII)," ucapnya.
Menurutnya, miskinnya solidaritas akademisi terhadap kebebasan berekspresi tak hanya terjadi di UII. Ia mengatakan sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta juga mengalami hal serupa.
"Mereka lebih disibukkan dengan urusan akademik. Mementingkan membuat karya ilmiah, jadi, selesai," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)