Mayoritas penghuni desa berasal dari etnis Tionghoa yaitu 57 persen. Kemudian warga datang dari suku Jawa dan Banjar.
Sebanyak 90 persen warga menganut Nasrani. Namun penganut Budha dan Islam pun ditemukan di desa yang berlokasi di Jalan Malioboro, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta itu.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Tapi semua warga hidup berdampingan dengan rukun," kata Tjundaka Prabawa, Ketua RW 05 Ketandan kepada Metrotvnews.com, Jumat 2 Juni 2017.
Tjundaka mengatakan, sudah sejak lama, warga keturunan etnis Tionghoa menempati desa tersebut. Jumlahnya kurang lebih 350 kepala keluarga. Sebagian besar mereka bekerja sebagai wirausaha. Ada yang berjualan makanan, emas, dan kebutuhan pokok.

(Rumah berarsitektur Tionghoa di dalam kampung Ketandan, MTVN - Vicka)
Pak Tjun, demikian ia akrab disapa, mengatakan cikal bakal keberadaan Kampung Ketandan sebagai kampung pecinan tak lepas dari sosok tokoh Tionghoa bernama Tan Jin Sing yang hidup antara 1760 sampai 1831. Tan Jin Sing adalah seorang kapiten dari Tiongkok yang tinggal di wilayah itu.
"Ia kemudian berbaur dengan warga sekitar dan menikah dengan warga pribumi. Ia juga banyak berjasa menjembatani Sri Sultan Hamengkubuwono ke III dengan Pemerintah Hindia Belanda dan Inggris," papar Pak Tjun.
Lantaran jasa Tan Jin Sing, Sri Sultan memberinya tanah di tempat yang kini menjadi Kampung Ketandan. Tin Jin Sing pun tinggal bersama anak cucunya di kawasan tersebut. Kemudian, warga keturunan Tionghoa pun berdatangan.
Mereka berbaur dengan warga Jawa dan Bugis. Mereka saling menyapa dan membantu. Beberapa bulan sekali, warga mengadakan pertemuan.
Tak melulu membahas urusan berat. Mereka berkumpul sekadar berbincang santai atau makan bersama.
"Kunci utama bisa rukun karena kami tidak pernah menyinggung soal agama. Karena itu hal yang sensitif. Selama saya tinggal di sini tak ada gesekan sama sekali. Bahakan banyak yang kawin campur antar suku di sini," jelasnya.
Setiap perayaan hari besar agama, warga tak segan memberikan ucapan selamat dan saling berkunjung ke rumah tetangga atau sekedar berbagi makanan. Even Pekan Budaya Tionghoa (PBTY) yang rutin digelar setiap tahun menjadi bentuk nyata kerjasama semua suku, etnis, dan agama.
Tjundaka mengatakan seluruh warga berpartisipasi. Perbedaan agama dan suku bukan masalah. Mereka turut menjadi panitia, peserta, bahkan penonton di acara tersebut.
Anton Hidayat Kustanto, 70, sesepuh keturunan Tionghoa yang tinggal di Ketandan, mengatakan pembauran etnis Tionghoa dengan pribumi sangat kental terasa di tanah Ngayogyakarta. Cerminannya tampak di beberapa sajian khas.
Misalnya bakmi jawa, bakpia, dan wedang ronde. Beberapa arsitektur bangunan di kampung Kentandan pun masih terlihat pencampuran budaya. Nampak beberapa bangunan yang berarsitektur Eropa dengan Jawa, atau arsitektur Tiongkok dan Jawa.
"Bakmi jawa, Bakminya itukan dari Cina. Bakpia juga awalnya dijual sama turunan Tionghoa," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)
