
(Logo Kota Pekalongan)
Benteng itu ternyata masih berdiri kokoh. Saat ini beralih fungsi menjadi dinding penahan Rumah Tahanan Pekalongan. Pembangunan benteng yang dinamakan Benteng Pekalongan itu tak lepas dari adanya Perjanjian Giyanti yang salah satunya berisi berkurangnya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di pesisir Pulau Jawa yang dikuasai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Kemudian terjadi perlawanan warga tionghoa terhadap VOC pada 1740-1742 di Batavia (Peristiwa Angke). Peristiwa itu merembet ke daerah lain, termasuk ke Pekalongan. Akibatnya Perang Jawa I ini banyak warga tionghoa terbunuh, namun mereka berhasil merebut benteng-benteng VOC.
Untuk menumpas pemberontakan itu VOC memperkuat pertahanan dengan membangun benteng di daerah bugisan Pekalongan. Benteng itu dalam bahasa Belanda disebut Fort Peccalongan. Seorang pelukis Denmark yang menjadi pasukan VOC, Johannes Rach, pernah melukis fisik benteng Pekalongan dari dua sisi pada 1775. Sekarang lukisan itu tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Menurut anggota Komunitas Haritage, Dirhamsyah, benteng dibangun untuk mengawasi pelabuhan yang ada di Krapyak. Kapal-kapal yang masuk lewat pelabuhan dan masuk melalui Kali Loji akan mudah terawasi oleh pasukan VOC dari benteng. Benteng juga untuk mengawasi hutan yang masih rimbun di sebagian besar wilayah Pekalongan saat itu.
“Dulu juga masih ada armada di depannya, sekarang sudah dibangun rumah warga,” kata Dirham, beberapa waktu lalu.
Menurut dokumen yang ditulis Residance Rothen Buhler (1786), penduduk Pekalongan saat itu masih sedikit, lebih banyak jumlah hewan buas di hutan. Penduduk Pekalongan berprofesi dengan bercocok tanam. Sehingga, Pekalongan menjadi sentra pangan Kerajaan Mataram. Lumbung padi terdapat di Wiradesa.
Tidak berfungsinya benteng terjadi pada 1799, ketika VOC dinyatakan bangkrut kemudian beralih tangan kepada pemerintah Hindia Belanda. Sejak 1950 Benteng Pekalongan difungsikan menjadi lapas (LP II). Kemudian, berdasarkan surat dari Kementerian Kehakiman 1985, LP II berubah fungsi menjadi rumah tahanan. Luas tanah Benteng Pekalongan 7.435 meter persegi dengan luas bangunan 1.720 meter persegi.

(Rutan Pekalongan)
Upaya pemerintah Pekalongan melindungi bangunan yang bernilai budaya, sudah dilakukan beberapa tahun lalu. Wali Kota Pekalongan H Basyir Ahmad telah melayangkan surat tukar guling tanah dan bangunan rutan untuk menjadi milik pemerintah Pekalongan. Sampai sekarang belum ada angin sejuk dari Kementerian Hukum dan HAM untuk menukar guling kepemilikan bangunan bersejarah itu. Padahal, volume rutan sudah tidak mencukupi dengan banyaknya napi yang menghuni.
Komunitas Pekalongan Haritege berharap Benteng Pekalongan menjadi bangunan cagar budaya yang untuk mengembangkan sanggar budaya atau perluasan Museum Batik. "Fungsi cagar budaya akan lebih maksimal jika bangunan kuno terbuka untuk aktivitas pendidikan, seni dan budaya," ujar Dirham.
Benteng Pekalongan telah melalui renovasi sebanyak empat kali. Renovasi pertama pada 1976 dengan membangun gedung kantor untuk lapas. Renovasi kedua dan ketiga pada bagian pagar pembatas dan pagar inspeksi pada 1989. Terakhir pada 2009 dilakukan peninggian tembok penjara karena ada narapidana yang kabur melewati tembok itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)
