medcom.id, Yogyakarta: Berapa banyak mahasiswa yang bisa merasakan, memahami, dan menjalankan bagaimana sulitnya mendapat pendidikan tanpa banyak sokongan biaya? Jawabannya jelas tak banyak.
Namun, 11 mahasiswa yang tergabung dalam sebuah komunitas bernama Kapoer Tulis itu memilih jalan berbeda. Mahasiswa dari Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah (PBSID) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini membuat buku berjudul Grundelan Pendidikan Anak Negeri. Bagaimana cara mereka mencetak buku?
Koordinator Kapoer Toelis, Fajar Nur Rahman, mengatakan awalnya tak memiliki modal sepeser pun untuk mencetak buku itu. Karena keterbatasan, Fajar dan rekannya kemudian berpikir bagaimana memperoleh uang dengan halal agar bisa mencetak buku. Akhirnya, mereka memutuskan menggadai BPKB dan menjadi juru parkir untuk modal.
"Saya gadai BPKB. Ada yang jualan di pasar juga. Sebagian ada yang sehari-hari menjadi juru parkir di Pasar Klitikan (pasar barang sertengah pakai), sebagian hasil uangnya disisihkan untuk membayar kuliah dan modal cetak buku,” kata Fajar, Jumat (4/12/2015).
Fajar mengungkapkan kerja keras dan gotong royong itu akhir membuahkan hasil. Buku tentang kritik kondisi dunia pendidikan di Indonesia itu bisa tercetak dan dipasarkan belum lama ini. Mereka memutuskan menjual buku secara mandiri tanpa bekerja sama dengan toko buku.
Mereka memanfaatkan teman dan jaringan agar membeli buku itu. Bahkan, ada buku yang mereka jual hingga ke Kalimantan. “Hasil penjualan kami sisihkan Rp5.000 untuk membantu sekolah-sekolah di Yogyakarta dan Papua. Kita jual dengan tagline ‘Satu buku berarti donasi Rp5.000 untuk sekolah. Kita akan bantu satu SD di Papua dan juga satu SD di Gunungkidul," kata Fajar.
Di sisi lain, tak semua buku mereka jual. Sebagian lagi mereka sumbangkan ke sejumlah perpustakaan sekolah di Yogyakarta. Fajar mengatakan kelompoknya tak ada keinginan untuk mendapatkan keuntungan ataupun memperkaya diri. Bagi mereka, memberikan bantuan sekolah sesuai kebutuhan menjadi misi besar mereka, meskipun cukup terbatas.
Fajar mengaku sadar, 11 orang yang ada di komunitas Kapoer Tulis sebagain besar berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu. Bahkan, mereka merasa sulit untuk sekadar membeli satu buku sebagai bahan perkulihan. "Bagi kami, membeli satu buku itu seperti membeli emas. Ya, karena kami memang tidak punya uang," ucapnya.
Latar belakang itulah yang menjadi lecutan semangat mereka untuk tidak hanya sekadar kuliah, namun juga berkarya dan berbuat lebih untuk dunia pendidikan lewat cara tersendiri. Fajar menambahkan, dibutuhkan langkah besar dari seluruh elemen anak negeri jika ingin pendidikan bisa merata. Ia meminta para generasi muda tak hanya pasrah dan menyerahkan kepada negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)