Monumen Kebangkitan Nasional, oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Tugu Lilin, lantaran bentuknya. Dibangun di lahan seluas 140 meter persegi tepat saat 25 tahun setelah organisasi Boedi Oetomo berdiri. Ujung monumen setinggi 9 meter itu berwarna nyala api.
“Lilin adalah simbol pencerahan, penerangan, dan semangat yang menyala,“ Kepala Bidang (Kabid) Cagar Budaya Dinas Tata Ruang dan Kota (DTRK) Solo Mufti Raharjo memulai kisah berdirinya Monumen Kebangkitan Nasional, Kamis (19/05/2016).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Mufti menuturkan, niat pendirian tugu tersebut dicetuskan oleh perwakilan masyarakat Solo saat mengikuti Konggres Indonesia Raya I di Surabaya pada 1931. Kaum cendekia Tanah Air banyak yang dikirim ke Belanda untuk sekolah. Mereka kaget karena negeri penjajah jauh lebih kecil ketimbang nusantara.
"Kaget mereka setelah mengetahui negara penjajah ternyata lebih kecil dari Indonesia. Muncul semangat dan optimisme," katanya.

Tugu Kebangkitan Nasional, di Solo, Jawa Tengah. (Metrotvnews.com/Pythag Kurniati)
Pelaksanaan pembangunan dipercayakan kepada KRT Woerjaningrat, menantu Pakubuwono X yang juga berperan sebagai Wakil Ketua Boedi Oetomo.
Yang menarik dari pembangunan monumen itu, beberapa perwakilan pemuda dari seluruh penjuru nusantara membawa gumpalan tanah dan air dari wilayahnya masing-masing.
"Di tempat tersebut dibuatkan satu lubang untuk menyatukan gumpalan tanah dan air dari seluruh wilayah di Indonesia,” tutur Mufti.
Tanah dan air yang dibawa tak lain menyimbolkan tanah air Indonesia nan luas, kaya, namun dapat berpadu dalam satu rasa. Gumpalan tanah dan air tersebut lantas ditanam dan disatukan dengan batu serta semen untuk menandai peletakan batu pertama yang dilakukan secara diam-diam pada saat itu.
Mengapa diam-diam? Sebab ketika itu penjajah masih menguasai bumi pertiwi.
“PB X pada saat itu bersama dengan tokoh lainnya mengatur strategi agar kebangkitan tidak terlihat mencolok namun justru bersifat mematikan bagi pihak penjajah, tenger-nya (tandanya) ya monumen itu,” terang Mufti.
Monumen Kebangkitan Nasional di Solo juga bisa dikatakan sebagai bangkit kembalinya Boedi Utomo setelah stagnan selama 25 tahun sejak berdiri tahun 1908. “Menyertai rentetan peristiwa tersebut, di sini juga banyak tempat-tempat yang digunakan rapat pergerakan. Sebagai contoh lain 70 persen tokoh BPUPKI, itu juga berasal dari Solo,” imbuh Mufti.
Menandai dan meresapi perjuangan tokoh-tokoh kebangkitan nasional, hingga saat ini setiap Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei, selalu digelar upacara bendera di Monumen Kebangkitan Nasional di Kota Solo, Jawa Tengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)