Obrolan ringan para mahasiswa itu pun sejenak terhenti. Semua berpaling ke Raras Ruming Melathi, menunggu jawaban. Maklum, di kelompok itu, hanya Raras yang berjilbab.
"Aku salat dulu ya. Nanti aku gabung lagi," jawab Raras pada teman-temannya.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Raras tak terlalu takjub mendapat pertanyaan itu. Meski, semua teman kuliahnya mayoritas bukan Muslim.
Raras tahu, kehidupan di kampus yang didirikan para imam Katholik Ordo Societas Jesus (Serikat Yesus yang lazim disingkat S.J.) itu, cukup humanis. "Kebetulan ibu dan pak de yang Muslim juga lulusan sini (USD)," kata Raras pada Metrotvnews.com, Kamis (22/12/2016).

Raras Ruming Melathi, mahasiswi berjilbab di USD Yogyakarta. (Metrotvnews.com/Ahmad Mustaqim)
Itu sebabnya, ia tak merasa canggung ketika resmi menjadi mahasiswi S1 Jurusan Pendidikan Sejarah pada 2014. Perempuan 20 tahun, asal Magelang, Jawa Tengah ini, mengaku temannya sangat menghargai keyakinan dia.
"Di kelas saya ada 40 mahasiswa. 10 di antaranya Islam, tiga perempuan, tujuh laki-laki," katanya.
Kala Ramadan, rekannya yang bukan Muslim senantiasa memohon maaf bila tak sengaja makan di hadapannya. Mereka juga berkunjung saat hari besar seperti Idulfitri atau Iduladha.
Biasa beragam
Pola sosialisasi seperti ini cukup diakrabi Raras sejak kecil. Apalagi, dalam keluarga besarnya tidak semua Muslim. "Kami tetap saling menghargai dengan baik," katanya.
Keharmonisan multireligi di Yogyakarta bukanlah pemandangan baru. Kalangan pendidikan pun sangat paham batasan akademis dengan keyakinan mahasiswa.
"Kami punya mahasiswa Katholik dari Filipina, Papua, serta Nusa Tenggara Timur, dan Buddha dari Thailand," tutur Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Zuly Qodir.
Mereka yang non-Islam, kata Zuly, disilakan tidak dipaksaan untuk ikut acara yang berkaitan dengan keagamaan. Baginya, kampus memiliki otonomi untuk mengatur kebijakan menerima mahasiswa, meskipun tak seiman.
Musala di Atma Jaya
Widhi Sakti Pangestu, 20, pun punya pengalaman berbeda. Menjadi Muslim di lingkungan mayoritas Katholik, awalnya membuatnya khawatir.
Bayangan itu hilang setelah dia menjalani perkuliahan. Mahasiswi S1 jurusan Manajemen ini mengungkapkan ada tempat musala di kampusnya.
Musala tersebut ada di setiap fakultas yang ada di Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Di musala juga tersedia mukena, sajadah, serta sarung. "Letaknya di lantai empat," ungkap mahasiswi angkatan 2015 ini. Dia juga kerap diingatkan ibadah oleh rekan-rekannya.
Tanggung jawab peradaban
Di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ada Riston Batuara yang beragama Kristen. Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Agama dan Resolusi Konflik ini merasa begitu menikmati kuliah di kampus Islam.
Menjadi minoritas dari segi keagamaan, Riston mengaku bisa menikmati iklim pendidikan dan pemikiran UIN Sunan Kalijaga. Menurut dia, dialog selalu menjadi jalan untuk menjembatani perbedaan pendapat.

Riston Batuara, berkeyakinan Kristen, menjadi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. (Metrotvnews.com/Ahmad Mustaqim)
Harmoni religi di perguruan tinggi Yogya, kata Rektor USD Johanes Eka Prijatma, harus terus dijaga. "Perguruan tinggi harus mengambil tanggung jawab peradaban," katanya.
Itu sebabnya, Zuly Qodir menimpali, pihak di luar kampus, seperi organisasi kemasyarakatan, tidak berhak mengintervensi. Toleransi di kampus bisa menjadi contoh untuk diterapkan di masyarakat.
"Ini sebagai proses pendidikan. Orang non muslim berkuliah di kampus Islam, tentu atas dasar ingin mendapatkan apa yang tak bisa didapatnya di kampus lain, begitu juga sebaliknya," ujar Zuly.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)