Riduan, salah seorang petani di Kelurahan Romokalisari, Kecamatan Benowo, Kota Surabaya mengatakan, harga garam tersebut terlalu rendah. Sebab, biaya untuk produksi garam hingga panen tidak mencukupi jika hanya dibeli dengan harga Rp17 ribu.
“Nggak cukup kalau harga segitu. Kalau normalnya harga aman bagi petani sekitar Rp20 ribu,” katanya saat ditemui di sela-sela saat memanen garam di sawahnya, di Surabaya, Rabu (4/11/2015).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Menurut Riduan, harga tersebut adalah yang paling rendah selama kurun waktu musim garam yang dimulai bulan Mei. Sebelumnya, harga jual garam petani dari sawah paling tinggi pernah mencapai Rp22 ribu.
“Harga Rp22 ribu itu terjadi pada awal bulan Mei waktu awal-awalnya panen itu. Setelah itu harganya terus turun mulai Rp20 ribu hingga sekarang Rp19 ribu,” katanya.
Hukum ekonomi tampaknya juga berlaku bagi para petani garam. Menurut Riduan, turunnya harga garam itu lantaran banyaknya petani garam yang saat ini juga musim panen. Harga garam hingga mencapai Rp 22 ribu, lanjut Riduan, itu terjadi saat awal-awal musim penen garam dan jumlahnya masih sedikit.
“Apalagi sekarang ini musim kemarau sudah mau habis. Hujan sudah mulai turun di wilayah Surabaya dan sekitarnya, kami juga terancam jadi buruh lagi,” ujar Riduan.
Sekedar diketahui, garam hanya mampu diproduksi para petani saat musim kemarau. Jika musim penghujan, sawah petani gersang dan hanya terisi penuh dengan air hujan. Garam diproduksi dengan menggunakan air asin dari laut. Sehingga saat musim penghujang air laut yang tercampur dengan air hujan tidak bisa menjadi garam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)
