"Data penerima itu tidak valid, karena tidak pernah dimusyawarahkan dengan desa," kata Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Sumenep Imam Idafi, Selasa, 9 Januari 2018.
Menurut Idafi, data yang dipegang petugas pencatat setidaknya bisa disimpan dulu jika mereka tidak percaya dengan pemerintah desa dan khawatir terjadi kolusi. Petugas kemudian cari waktu pas untuk kroscek ke lapangan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Jika beras dipaksakan didistribusikan dengan mengacu pada data yang ada, lanjut Idafi, masyarakat yang lebih layak menerima akan komplain kepada perangkat desa. "Akhirnya kepala desa hanya bisa diam," terangnya.
Selain itu, kata Idafi, sistem penebusan juga berat. Sejauh ini, beras bisa diambil jika sudah ada biaya penebusan. Sementara, penerima tidak mungkin bisa membayar serentak uang penebusan tersebut.
Idafi pun mengusulkan agar sistem penebusan diubah. Jadi, beras didistribusikan dulu, baru biaya penebusan menyusul. Ia juga berharap daftar penerima diverifikasi, sehingga pendistribusian rastra sesuai peruntukkan.
Kepala Bagian Perekonomian Setkab Sumenep Mustangin menjelaskan, perangkat desa sebenarnya mengusulkan revisi penerima rastra saat musyawarah desa. Pada kesempatan itu, perangkat desa bisa memperbaiki data sesuai fakta di lapangan. Ia berharap ke depan kesempatan tersebut dimanfaatkan maksimal oleh perangkat desa.
Terkait sistem penebusan, imbuh Mustangin, sebagian desa sebenarnya sudah menerapkan sitem modal jaminan (MJ) atau barang diambil duluan dan bayar kemudian. Hal ini dilakukan karena penebusan rastra rendah.
"Pada 2018, kita masih mau lihat perkembangannya seperti apa, karena kuota rastra untuk Sumenep belum turun," tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(NIN)
