Dalam sidang lanjutan kasus tambang pasir itu, Hariono diperiksa sebagai terdakwa bersama terdakwa lainnya. Di antaranya, Tinarlap sebagai Ketua lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) dan Harmoko sebagai pekerja yang menggunakan alat berat pengerukan pasir.
"Saya setor kepada camat, kapolsek dan danramil setiap bulan Rp1 juta," kata Hariono, saat disidang di Ruang Candra, Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (3/3/2016).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Dijelaskan Hariono, pengerukan pasir di pesisir pantai desanya bertujuan untuk digunakan sebagai tempat wisata. Hal itu, juga sudah dikoordinasikan dengan Camat Pasirian. Namun, karena banyak gundukan pasir, sehingga dilakukan pemerataan dengan cara mengeruk pasir.
"Lalu pasirnya saya jual. Hasilnya di antaranya kami kasihkan kepada Pak Camat, Pak Kapolsek dan Pak Danramil. Mereka tidak minta, ya, saya kasih begitu saja, dan diterima," ungkap Hariono.
Hariono mengatakan, pengerukan itu dimulai sejak 2010 setelah dirinya meminta izin untuk menjadikan lokasi pasir itu sebagai lokasi wisata. Sejak saat itu pula dirinya rutin menyetor upeti setiap bulan kepada Muspika.
"Muspika tidak ada perintah eksploitasi, itu ide saya sendiri karena banyak gundukannya sehingga perlu diratakan dan hasil pasirnya dijual," imbuhnya.
Sidang kasus tambang pasir ilegal itu memasuki sidang yang ketiga dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Jihad Fakhrudin dengan anggota Evran Basuni.
Dalam kasus ini total ada 37 terdakwa yang disidangkan di PN Surabaya. Dua terdakwa lainnya masih anak-anak belum disidangkan karena menunggu kondisi tertib.
Kasus ini bermula dari tewasnya petani aktivis penolak tambang pasir ilegal, Salim Kancil. Petani itu tewas dikeroyok warga pro tambang. Rekan Salim, Tosan selamat dari maut akibat pengeroyokan itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)