Hal itu terungkap dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis 3 Maret. Hariono menjadi terdakwa dalam sidang tersebut.
Setiap bulan, kata Hariono, ia mendapat untung bersih Rp20 juta per bulan dari tambang pasir ilegal. Ia juga mendapat Rp20 juta dari pungutan truk yang melintasi portal desa.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Setiap hari tambang pasir itu mendapatkan Rp14 juta bersih. Itu ada yang masuk kas desa, masuk kas lembaga masyarakat desa hutan (LMDH), dan disetorkan kepada Muspika," kata Hariono di muka sidang.
Setiap satu truk, kata Hariono, LMDH mendapat jatah Rp5.000. Lembaga yang dipimpin Maddasir itu mendapat jatah Rp14 juta per bulan. Maddasir juga menjadi terdakwa dalam kasus itu. Uang itu juga mengalir ke kantong pribadi Maddasir dan pegawai Perhutani.
"Pegawai Perhutani yang menerima uang itu namanya Hanafi," kata Maddasir yang juga dihadirkan dalam sidang.
Sidang juga mengungkap lokasi tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar itu sedianya hendak dikembangkan sebagai desa wisata. Namun karena datarannya belum rata, lokasi yang berisi pasir besi itu dikeruk lalu dijual tanpa izin.
Hari ini, PN Surabaya menggelar sidang kasus tambang pasir ilegal di Lumajang. Selain Erisa, sidang juga meminta keterangan terdakwa Hariono, mantan Kepala Desa Awar-Awar, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Maddasir, dan operator alat berat Harmoko.
Penambangan ilegal terkuak setelah pengeroyokan terjadi pada dua aktivis antitambang pada September 2015. Satu di antaranya yaitu Salim Kancil tewas setelah pengeroyokan. Satu lainnya, Tosan, selamat namun mengalami luka parah. Tosan menjadi saksi dalam rangkaian sidang kasus tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)