Dua putri Amin Hadi, Narindrani (berkerudung putih) dan Tjintariani (baju hitam) Foto: MTVN/Amaluddin
Dua putri Amin Hadi, Narindrani (berkerudung putih) dan Tjintariani (baju hitam) Foto: MTVN/Amaluddin (Amaluddin)

Cerita di Balik Pembongkaran Bangunan Jejak Bung Tomo

bangunan bersejarah
Amaluddin • 16 Mei 2016 17:24
medcom.id, Surabaya: Narindrani, 68, dan Tjintariani, 66, ahli waris rumah bekas Stasiun Radio Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10, Surabaya, Jawa Timur, angkat bicara terkait pembongkaran cagar budaya itu. Keduanya mengaku mewarisi rumah itu setelah ayah mereka, Amin Hadi, membeli dari kolonial Belanda pada 1973.
 
Sejak saat itu, Narindrani dan Tjintariani bersama kedua orangtua mereka Amin Hadi dan Nini Anila tinggal di rumah itu. Hak milik rumah itu kemudian jatuh ke mereka setelah Amin Hadi meninggal pada 1985 dan Nini meninggal pada 2006.
 
"Kemudian kami berdua (Narindrani dan Tjintariani, red) mewarisinya setelah ayah dan ibu wafat," kata Narindrani saat ditemui Metrotvnews.com di kediamannya di Jalan Gayungsari Barat III Nomor 114, Surabaya, Senin (16/5/2016).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Ibu Rin menceritakan, rumah yang diwarisinya itu dulu adalah rumah dinas milik Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP), salah satu perusahaan gula peninggalan zaman Belanda. Saat ini, PNP berubah nama menjadi PT Perkebunan Nusantara (PNPT).
 
"Nah, ayah saya (Amin Hadi) itu pegawai di perusahaan itu hingga menjabat sebagai Direktur Utama. Berjalannya waktu, ayah saya membeli rumah itu setelah mendapat izin dari Menteri Pertanian (saat itu)," kata Bu Rin didampingi adiknya, Tjintariani.
 
Amin langsung mengurus surat kepemilikan rumah tersebut setelah resmi memilikinya. Amin coba mengurus rumah itu hingga ke kantor pusat PNP yaitu di Belanda. Selanjutnya, ia juga mendaftarkannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
 
"Rumah itu sudah resmi dan dilengkapi surat-suratnya. Ini adik saya (Tjintariani) saksi hidup yang mengantarkan ayah mengurus surat-suratnya sampai ke Belanda," kata dia.
 
Setelah mendapat izin resmi serta surat-surat pembelian rumah, Amin mencoba mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ke Pemerintah Kota Surabaya, pada 1975. Tujuannya agar bangunan itu lebih memiliki izin resmi.
 
"Alhasil, bangunan itu pertama kali mendapatkan IMB pada 1975. Izin ini ternyata masih terdokumentasi di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Pemerintah Kota Surabaya," imbuh dia.
 
Pada 1996, kata dia, Pemkot Surabaya menetapkan bangunan bekas jejak Bung Tomo itu sebagai bangunan cagar budaya. Putri pertama Amin ini mengaku belum tahu detail sejarah bangunan itu. Dia mengaku hanya mengetahui rumah yang ditempatinya adalah bangunan cagar budaya bekas perjuangan Bung Tomo.
 
"Kami hanya sekadar tahu kalau rumah itu adalah cagar budaya. Sejarah detailnya seperti apa kami baru tahu setelah Pemerintah Kota Surabaya memasang plakat bangunan cagar budaya di depan rumah pada 1996," kata dia.
 
Hingga pada awal 2015, kedua putri ahli waris Amin ini berencana untuk menjual rumah itu. Surat izin penjualan pun diurusnya hingga akhir 2015.
 
"Pada Desember 2015, rumah itu sudah dibeli pak Beng Jayanata (Pemilik PT Jayanata)," imbuh dia.
 
Kemudian pada Desember 2015, PT Jayanata mengajukan izin IMB. Selain itu, pada Februari 2016, mereka juga mengajukan izin renovasi dan rekomendasinya baru keluar pada Maret 2016. Namun, Narindrani mengaku sejak rumah itu pindah tangan pada Desember 2015, keluarganya tidak tahu sama sekali proses yang terjadi di Jalan Mawar hingga akhirnya dirobohkan.
 
"Kami baru tahu dari media bahwa bangunan itu dirobohkan," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(TTD)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif