Adapun rancangan peraturan yang memicu kericuhan itu termaktub dalam Bab VI Pasal 19 yang berisi enam ayat. Peraturan itu menjelaskan pemilihan Ketua Umum dan Rais Aam melalui musyawarah mufakat atau Ahlul Halli Wal 'Aqdi.
Sejumlah pihak menyetujui pemilihan metode Ahwa itu. Namun tak sedikit muktamirin menentang metode itu. Mereka menilai metode itu cacat hukum.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Akibatnya, sidang berjalan alot. Muktamirin yang pro maupun kontra pun adu mulut hingga berujung baku hantam.
"Ahlul halli wal aqdi itu merupakan hasil Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta. Sedangkan munas tidak berhak memutuskan sistem pemilihan," ujar seorang muktamirin asal Maluku Tengah, Minggu (2/8/2015).
Alasan perdebatan didasarkan karene lahirnya adanya pasal 19 ini ditengarai cacat hukum kareba bukan hasil muktamar yang merupakan musyawarah tertinggi.
Berikut isi dari pasal 19 yang menjadi perdebatan:
1. Pemilihan Rais Aam dilakukan secara musyawarah mufakat melalui sistem Ahlul halli wal aqdi (Ahwa)
2. Ahlul halli wal aqdi terdiri dari 9 orang ulama yang telah diusulkan oleh pengurus wilayah dan pengurus cabang
3. Panitia membuat tabulasi nama-nama yang masuk secara terbuka
4. Apabila ada nama calon ahlul halli wal aqdi yang muncul lebih dari 9 orang maka dilakukan perangkingan dan 9 nama teratas ditetapkan sebagai ahlul halli wal aqdi
5. Apabila terdapat kesamaan jumlah rangking yang kesembilan maka kepada nama - nama yang memiliki jumlah suara yang sama dipersilakan untuk memutuskan secara musyawarah satu nama yang diusulkan
6. Ahlul halli wal aqdi membuat sidang sendiri untuk menunjuk Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)